materi sejarah

BAB. I
PENDAHULUAN

Sejarah adalah rekonstruksi peristiwa masa lampau untuk memperjelas kekinian dalam rangka menatap masa depan. Dengan mempelajari sejarah diharapkan kita dapat memahami arti kehidupan manusia di masa lampau. Keberadaan manusia yang sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan dakehidupan generasi sebelumnya.


Sehubungan dengan itu memahami generasi sebelumnya adalah rangkaian untuk memahami generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Rangkaian “kelampauan”, “kekinian dan “ keakanan” itu merupakan suatu kesinambungan yang tak terpisahkan.


Dengan demikian mempelajari Sejarah Perjuangan Indonesia adalah suatu keharusan agar dapat memilih dan menganalisis peristiwa-peristiwa sekarang untuk menentukan tindakan-tindakan pada masa yang akan datang.


Materi ini berisi perkembangan Sejarah Perjuangan Indonesia dari masa Pergerakan Nasional sampai masa Orde Reformasi. Dengan berusaha menitikberatkan pada perkembangan ekonomi di Indonesia, agar para peserta lebih mengetahui bahwa sejak awal bangsa Indonesia tidak hanya berjuang di bidang politik saja tetapi juga di dalam bidang ekonomi.


BAB. II
PERGERAKAN NASIONAL:
MASA AWAL, MASA RADIKAL DAN MASA BERTAHAN


Masa Pergerakan Nasional ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi modern antara lain Budi Utomo (BU), Sarekat Islam (SI), dan Indische Partij (IP) dalam memperjuangkan perbaikan nasib bangsa. Kaum terpelajar melalui organisasi-organisasi memotori munculnya pergerakan nasional Indonesia. Pada saat itulah bangsa-bangsa di Nusantara mulai sadar akan rasa “sebagai satu bangsa” yaitu bangsa Indonesia.


Kata “Pergerakan Nasional“ mengandung suatu pengertian yang khas yaitu merupakan perjuangan yang dilakukan oleh organisasi secara modern ke arah perbaikan taraf hidup bangsa Indonesia yang disebabkan karena rasa tidak puas terhadap keadaan masyarakat yang ada. Dengan demikian istilah ini mengandung arti yang sangat luas. Gerakan yang mereka lakukan memang tidak hanya terbatas untuk memperbaiki derajat bangsa tetapi juga meliputi gerakan di berbagai bidang pendidikan, kebudayaan, keagamaan, wanita dan pemuda.


Istilah Nasional berarti bahwa pergerakan-pergerakan tersebut mempunyai cita-cita nasional yaitu berkeinginan mencapai kemerdekaan bagi bangsanya yang masih terjajah.


Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pergerakan nasional, antara lain adalah:


1. Faktor yang berasal dari luar negeri, yaitu pada waktu itu Asia sedang menghadapi imperialisme. Hal inilah yang mendorong bangkitnya nasionalisme Asia. Selain itu kemenangan Jepang terhadap Rusia juga merupakan bukti bahwa bangsa timur dapat mengalahkan bangsa barat. Di samping adanya gerakan Turki Muda yang bertujuan mencari perbaikan nasib.


2. Faktor yang berasal dari dalam negeri yaitu adanya rasa tidak puas dari bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan penindasan kolonial. Ketidakpuasan itu sebenarnya sudah lama mereka ungkapkan melalui perlawanan bersenjata melawan Belanda yang antara lain dipimpin oleh Pattimura,Teuku Cik Ditiro, Pangeran Diponegoro, dll. Namun perlawanan-perlawanan itu menemui kegagalan.


Kegagalan inilah yang menyadarkan para pemimpin bangsa untuk merubah taktik dalam mewujudkan cita-cita mereka, yaitu dengan mendirikan organisasi-organisasi modern.


Gagasan pertama pembentukan Budi Utomo berasal dari dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang dokter Jawa dari Surakarta. Ia menginginkan adanya tenaga-tenaga muda yang terdidik secara Barat, namun pada umumnya pemuda-pemuda tersebut tidak sanggup membiayai dirinya sendiri. Sehubungan dengan itu perlu dikumpulkan beasiswa untuk membiayai mereka.


Pada tahun 1908, dr. Wahidin bertemu dengan Sutomo pelajar Stovia. Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya pada pelajar-pelajar Stovia dan para pelajar tersebut menyambutnya dengan baik. Secara kebetulan para pelajar Stovia juga memerlukan adanya suatu wadah yang dapat menampung kegiatan dan kehidupan budaya mereka pada umumnya. Sehubungan dengan itu pada tanggal 20 Mei 1908 diadakan rapat di satu kelas di Stovia. Rapat tersebut berhasil membentuk sebuah organisasi bernama Budi Utomo dengan Sutomo ditunjuk sebagai ketuanya.


Pada awalnya tujuan Budi Utomo adalah menjamin kemajuan kehidupan sebagai bangsa yang terhormat. Kemajuan ini dapat dicapai dengan mengusahakan perbaikan pendidikan, pengajaran, kebudayaan, pertanian, peternakan, dan perdagangan. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu tujuan dan kegiatan Budi Utomo pun mengalami perkembangan.


Pada tahun 1914 Budi Utomo mengusulkan dibentuknya Komite Pertahanan Hindia (Comite Indie Weerbaar). Budi Utomo menganggap perlunya milisi bumiputra untuk mempertahankan Indonesia dari serangan luar akibat Perang Dunia pertama. Selanjutnya ketika Volksraad (Dewan Rakyat) didirikan, Budi Utomo aktif dalam lembaga tersebut. Dalam Volksraad itu Budi Utomo menempatkan 20 orang wakil dari jumlah keseluruhan 46 orang anggota. Pada tahun 1932 pemahaman kebangsaan Budi Utomo makin berkembang maka pada tahun itu juga mereka mencantumkan cita-cita Indonesia merdeka dalam tujuan organisasi.


Berbeda dengan Budi Utomo yang mula-mula hanya mengangkat derajat para priyayi khususnya di Jawa, maka organisasi Serikat Islam sasaran anggotanya mencakup seluruh rakyat jelata yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Pada tahun 1909 R.M. Tirtoadisuryo mendirikan perseroan dalam bentuk koperasi bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perseroan dagang ini bertujuan untuk menghilangkan monopoli pedagang Cina yang menjual bahan dan obat untuk membatik. Persaingan pedagang batik Bumiputra melalui SDI dengan pedagang Cina juga nampak di Surakarta. Oleh karena itu Tirtoadisuryo mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta, Haji Samanhudi untuk mendirikan Serikat Dagang Islam. Setahun setelah berdiri, Serikat Dagang Islam tumbuh dengan cepat menjadi organisasi raksasa. Sekitar akhir bulan Agustus 1912, nama Serikat Dagang Islam diganti menjadi Serikat Islam (SI). Hal ini dilakukan karena adanya perubahan dasar perkumpulan, yaitu mencapai kemajuan rakyat yang nyata dengan jalan persaudaraan, persatuan dan tolong-menolong di antara kaum muslimin. Anggota SI segera meluas ke seluruh Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Sebagian besar anggotanya adalah rakyat jelata. Serikat Islam ini dapat membaca keinginan rakyat, dengan membantu perbaikan upah kerja, sewa tanah dan perbaikan sosial kaum tani. Perkembangan yang cepat ini terlihat pada tahun 1917 dengan jumlah anggota mencapai 450.000 orang yang tersebar pada 84 cabang.


Meningkatnya anggota Serikat Islam secepat ini, membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh curiga. Gubernur Jenderal Idenburg berusaha menghalangi pertumbuhannya. Kebijakan yang ditempuh antara lain dengan hanya memberikan izin sebagai badan hukum pada tingkat lokal.


Sebaliknya pada tingkat pusat tidak diberikan izin karena dianggap membahayakan, jumlah anggota yang terlalu besar diperkirakan akan dapat melawan pemerintah.


Dalam kongres tahunannya pada tahun 1916, Cokroaminoto mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Komite Pertahanan Hindia. Hal itu menunjukkan bahwa kesadaran politik bangsa Indonesia mulai meningkat. Dalam kongres itu diputuskan pula adanya satu bangsa yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia.


Sementara itu orang-orang sosialis yang tergabung dalam de Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) seperti Semaun, Darsono, dan lain-lain mencoba mempengaruhi SI. Sejak itu SI mulai bergeser ke kiri (sosialis). Melihat perkembangan SI itu, pimpinan SI yang lain kemudian menjalankan disiplin partai melalui kongres SI bulan Oktober 1921 di Surabaya. Selanjutnya SI pecah menjadi SI “putih” di bawah Cokroaminoto dan SI “merah” di bawah Semaun dan Darsono. Dalam Perkembangan SI “merah” ini bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah berdiri sejak 23 Mei 1923.


Dalam kongres Serikat Islam di Madiun pada tahun 1923 nama Serikat Islam diganti menjadi Partai Serikat Islam. Partai ini bersifat nonkooperasi yaitu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah tetapi menginginkan perlu adanya wakil dalam Dewan Rakyat.


Organisasi yang sejak berdirinya sudah bersikap radikal adalah Indische Partij. Organisasi ini dibentuk pada tahun 1912 di kalangan orang-orang Indo di Indonesia dipimpin oleh E.F.E. Douwes Dekker. Cita-citanya adalah agar orang-orang yang menetap di Hindia Belanda (Indonesia) dapat duduk dalam pemerintahan. Adapun semboyannya adalah Indie Voor de Indier (Hindia bagi orang-orang yang berdiam di Hindia).


Dalam menjalankan propagandanya ke Jawa Tengah, Douwes Dekker bertemu dengan Cipto Mangunkusumo yang telah meninggalkan Budi Utomo. Cipto terkenal dalam Budi Utomo dengan pandangan-pandangannya yang radikal, segera terpikat pada ide Douwes Dekker. Suwardi Suryaningrat dan Abdul Muis yang berada di Bandung juga tertarik pada ide Douwes Dekker tersebut. Dengan dukungan tokoh-tokoh tersebut, Indische Partij berkembang menjadi 30 cabang dengan 7.300 orang anggota, sebagian besar terdiri atas orang-orang Indo-Belanda.


Indische Partij berjasa memunculkan konsep Indie voor de Indier yang sesungguhnya lebih luas dari konsep “Jawa Raya” dari Budi Utomo. Dibandingkan dengan Budi Utomo, Indische Partij telah mencakup suku-suku bangsa lain di nusantara. Budi utomo dalam perkembangannya terpengaruh juga oleh cita-cita nasionalisme yang lebih luas. Hal ini dialami juga oleh organisasi-organisasi lain yang keanggotaannya terdiri atas suku-suku bangsa tertentu, seperti Serikat Ambon, Serikat Minahasa, Kaum Betawi, Partai Tionghoa Indonesia, Serikat Selebes, dan Partai Arab-Indonesia. Cita-cita persatuan ini kemudian berkembang menjadi nasionalisme yang kokoh, hal ini menjadi pokok. Masa akhir Indische Partij terjadi ketika Suwardi Suryaningrat dan Cipto Mangunkusumo ditangkap dan diminta untuk memilih daerah pembuangan. Akhirnya ke dua tokoh tersebut meminta dibuang ke negeri Belanda. Demikian juga Douwes Dekker dibuang ke Belanda dari tahun 1913 sampai dengan 1918.


Masa radikal, diartikan sebagai suatu masa yang memunculkan organisasi-organisasi politik yang kemudian dinamakan “partai”. Pada umumnya organisasi-organisasi ini tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dalam mewujudkan cita-cita organisasinya. Mereka dengan tegas menyebutkan tujuannya untuk mencapai Indonesia Merdeka. Organisasi-organisasi atau partai ini sudah bergerak dalam bidang politik, khususnya menentang keputusan pemerintah Belanda. Masa radikal ini juga diwarnai pengaruh Marxisme dan komunisme.


Pada tahun 1908 di negeri Belanda berdiri sebuah organisasi yang bernama Indische Vereeniging. Organisasi ini didirikan oleh pelajar-pelajar dari Indonesia. Pada mulanya hanya bersifat sosial yaitu untuk memajukan kepentingan-kepentingan bersama para pelajar tersebut. Namun sejalan dengan berkembangnya perasaan anti kolonialisme dan imperialisme setelah berakhirnya Perang Dunia I, organisasi ini juga menginginkan adanya hak bagi bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sehubungan dengan itu Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.


Sejalan dengan itu majalah Perhimpunan Indonesia (PI) yang semula bernama “Hindia Putra” juga berganti nama menjadi “Indonesia Merdeka”. Para anggota PI berusaha mengadakan propaganda kemerdekaan Indenesia.


Di samping itu mereka mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan nasional di berbagai negara di dunia, antara lain dengan Liga Penentang Tindasan Penjajah, Internasionale Komunis dan ikut serta pada kongres-kongres internasional yang bersifat humanistis.


Dalam perkembangannya pada tanggal 10-15 Februari 1927 Liga Penentang Tindakan Penjajahan mengadakan kongres internasional pertama di Brussel. Tujuan kongres ini adalah menentang imperialisme di dunia dan tindakan penjajahan. Dalan kongres Brussel itu hadir wakil-wakil pergerakan kebangsaan berbagai negara terjajah di dunia termasuk Indonesia diwakili oleh Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Gatot Mangkupraja, Achmad Soebardjo dan Semaun.


Adapun hasil-hasil yang diputuskan dalam Kongres Brussel adalah:


a. Memberikan dukungan yang sebesar-besarnya kepada Pergerakan
Kemerdekaan Indonesia dan menyokong pergerakan itu terus- menerus dengan segala daya upaya apa pun juga;


b. Menuntut dengan keras kepada Pemerintah Belanda agar pergerakan Rakyat Indonesia diberi kebebasan bergerak, menghapus keputusan-keputusan hukuman mati dan pembuangan dan menuntut adanya pembebasan tahanan politik bagi kaum pergerakan.


Dengan lahirnya keputusan-keputusan yang memberikan dukungan kepada kaum pergerakan maka Perhimpunan Indonesia segera menjadi anggota Liga Tindakan Anti Penjajahan. Tujuannya adalah agar kaum pergerakan mendapat perhatian Internasional serta para pemuda Indonesia bisa berkenalan dengan para tokoh pergerakan bangsa-bangsa lain. Di samping itu juga untuk menanamkan rasa senasib dengan bangsa-bangsa terjajah. Misalnya dengan tokoh-tokoh nasional dari India, Indo Cina, Filipina, Mesir serta tokon pergerakan negara-negara di Pasifik.


Tindakan Perhimpunan Indonesia (PI) itu membuat Pemerintah Kolonial Belanda bertindak tegas. Empat anggota pengurus Perhimpunan Indonesia yaitu Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, Abdul Madjid, Ali Sastroamidjojo ditangkap. Mereka dihadapkan pada sidang pengadilan Maret 1928. Dalam kesempatan tersebut, Mohammad Hatta mengajukan pidato pembelaan yang berjudul “Indonesia Vry” . Pemerintah kolonial Belanda ternyata tidak berhasil membuktikan kesalahannya, sehingga merekapun dibebaskan. Kejadian ini merupakan peristiwa yang penting bagi perjalanan Pergerakan Nasional Indonesia. Penentangan yang dilakukan membuat PI semakin mendapat simpati dari rakyat sehingga PI semakin besar.


Semangat yang tinggi untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka juga nampak pada Partai Nasional Indonesia. Dalam anggaran dasarnya ditegaskan secara jelas yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia.


PNI berkeyakinan bahwa untuk membangun nasionalisme ada tiga syarat yang harus ditanamkan kepada rakyat yaitu jiwa nasional (nationaale geest), tekad nasional (nationaale wil), dan tindakan nasional (nationnale daad). Dengan cara ini Partai Nasional Indonesia berusaha dengan kekuatan rakyat sendiri, memperbaiki keadaan politik, ekonomi, dan budaya.


Pemahaman ketiga unsur itu menjadikan masyarakat sadar akan kemelaratannya dalam alam penjajahan. Kepada rakyat dijelaskan bahwa masa lampau Indonesia adalah sangat gemilang. Manusia Indonesia menurut Soekarno (tokoh PNI) dimiskinkan oleh kolonial. Manusia Indonesia yang memiliki tanah untuk mencari nafkah, tetapi tetap miskin. Manusia Indonesia yang miskin itu dinamakan Soekarno marhaen.


Semangat marhaen dan nasionalisme yang ditiupkan oleh Bung Karno mendapat simpati kelompok-kelompok politik. Semangat marhaen dan nasonalisme itulah yang membuat partai-partai politik semakin terbangun persatuannya. Oleh sebab itu pada akhir tahun 1927 PNI mengadakan suatu rapat di Bandung yang antara lain dihadiri oleh wakil-wakil dari Partai Serikat Islam, Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Sumatranen Bond dan Kaum Betawi. Rapat yang dipimpin Partai Nasional itu sepakat membentuk suatu badan kerjasama yaitu Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).


Lahirnya PPPKI mendapat respon dalam kongres PNI tahun 1928. Dalam kongres itu dikemukakan bahwa ada pertentangan tajam antara pejajah dan yang dijajah. Belanda, merupakan suatu kekuatan imperialisme yang mengeruk kekayaan bumi Indonesia. Itulah sebabnya tatanan-tatanan sosial, ekonomi dan politik Indonesia hancur lebur. Untuk mengatasi keadaan ini diperlukan perjuangan politik yaitu mencapai Indonesia merdeka.


Tidak dapat disangkal bahwa ada unsur-unsur Marxisme turut mempengaruhi sikap pergerakan nasional. Pemikiran itu disebarkan dalam rapat-rapat, kursus-kursus dan sekolah-sekolah serta organisasi-organisasi pemuda yang didirikan oleh PNI. Pers PNI yang terdiri dari surat-surat kabar Banteng Priangan (Bandung) dan Persatuan Indonesia (Jakarta) juga membantu penyebaran pandangan ini. Kegiatan PNI ini dengan pesat menarik perhatian massa. Jumlah anggota PNI pada tahun 1929 diperkirakan 10.000 orang, yang tersebar antara lain di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Makassar. Perkembangan PNI ini semakin mengkhawatirkan pemerintah Hindia Belanda. Dengan tuduhan akan melakukan pemberontakan, tokoh-tokoh PNI, Soekarno, dkk ditangkap, kemudian diajukan ke pengadilan 18 Agustus 1930. Dalam pengadilan tersebut, Soekarno mengajukan pidato pembelaan “Indonesia Menggugat”. Tokoh-tokoh PNI tersebut kemudian dijatuhi hukuman penjara. Setelah tokoh-tokohnya dtangkap, PNI dibubarkan. Kemudian dibentuk PNI Merdeka (Pendidikan Nasional Indonesia) yang dipimpin Moh. Hatta dan Partindo (Partai Indonesia) yang dipimpin Sartono. Setelah keluar dari penjara Ir. Soekarno masuk Partindo.


Nasionalisme juga berkembang di kalangan pemuda. Para pemuda yang telah mendirikan berbagai organisasi pemuda juga merasa perlu untuk menggalang persatuan. Semangat persatuan ini diwujudkan dalam kongres pemuda pertama di Jakarta pada bulan Mei 1926. Para pemuda menyadari bahwa nasonalisme perlu ditumbuhkan dari sifat kedaerahan yang sempit menuju terciptanya kesatuan seluruh bangsa Indonesia. Namun kongres pertama ini belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.


PPI mempelopori penyelenggaraan Kongres Pemuda II. Dalam Kongres Pemuda II yang diselenggrakan pada tanggal 27-28 Oktober 1928 berbagai organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Rukun, Pasundan, Jong Selebes, Pemuda Kaum Betawi. Kongres ini berusaha mempertegas kembali makna persatuan dan berhasil mencapai suatu kesepakatan yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda, yaitu:


Pertama, kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.


Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.


Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.


Dalam penutupan kongres itu pula untuk pertama kali dikumandangkan lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah Putih dikibarkan untuk mengiringi lagu tersebut. Suasana haru yang sangat mendalam memenuhi hati para pemuda yang hadir saat itu. Sebagai tindak lanjut Sumpah Pemuda pada tanggal 31 Desember 1930 di Surakarta dibentuk organisasi Indonesia Muda, yang merupakan penyatuan dari berbagai organisasi pemuda, yaitu Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Celebes, Sekar Rukun dan Pemuda Indonesia.


Hal itu membuat Pemerintah Belanda semakin serius mengawasi pergerakan politik bangsa Indonesia. Gubernur Jenderal De Jonge melakukan tekanan keras terhadap organisasi pergerakan nasional. Ia mempunyai hak luar biasa untuk menindak setiap gerakan nasional yang dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban. Partai politik dikenakan larangan rapat.


Surat kabar diberangus dan dibakar. Para pemimpinnya ditangkap dan dibuang. Tindakan pemerintah berupa penangkapan dan pembuangan para pemimpin politik inilah yang menyebabkan hubungan partai-partai politik dengan massa rakyat terputus. Pemimpin dan pengikut dipisahkan dari kegiatan politik. Polisi rahasia atau Politieke Inlichtingen Dienst (PID) selalu memata-matai setiap gerakan dan siap menindak.


Masa bertahan, pada tahap ini kaum pergerakan berusaha mencari jalan baru untuk melanjutkan perjuangan. Hal itu dilakukan karena adanya tindakan keras dari pemerintah. Mereka menggunakan taktik baru, yaitu dengan bekerja sama dengan pemerintah melalui parlemen. Partai politik mengirimkan wakil-wakilnya dalam Dewan Rakyat. Mereka mengambil jalan kooperatif, tetapi sifatnya sementara (insidentil). Artinya kalau terjadi ketidakcocokan dengan politik pemerintah, mereka dapat keluar dari Dewan Rakyat.


Perjuangan moderat dan parlementer ini berlangsung dari tahun 1935-1942, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942). Tjarda cerdik dan tajam, dan ia tetap hanya memberi peluang secara parlementer serta terbatas. Hingga saat pemerintah Hindia Belanda gulung tikar, pemberian hak parlementer penuh kepada wakil-wakil rakyat Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan.


Di antara partai-partai politik yang melakukan taktik kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda adalah Persatuan Bangsa Indonesia dan Partai Indonesia Raya. Kelompok Studi Indonesia di Surabaya menyarankan agar perbedaan antara gerakan yang berasas kooperasi dan nonkooperasi tidak perlu dibesar-besarkan. Yang penting tujuan organisasi sama yaitu memperjuangkan pembebasan rakyat dari penderitaan lewat kesejahteraan ekonomi, sosial budaya dan politik.


Untuk melaksanakan cita-cita kesejahteraan ekonomi maka Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) mendirikan bank, koperasi serta perkumpulan tani dan nelayan. Pemakarsanya adalah Dokter Sutomo, seorang pendiri Budi Utomo. Pada tahun 1932, anggota PBI yang berjumlah 2500 orang dari 30 cabang menyelenggarakan kongres, kongres tersebut memutuskan bahwa PBI akan tetap menggalakkan koperasi, serikat kerja, dan pengajaran. Untuk mencapai tujuan itu maka tidak ada jalan lain yang dilakukan kecuali pendidikan rakyat diperhatikan dengan mengadakan kegiatan kepanduan .


Pada tahun 1935 terjadi penyatuan antara Budi Utomo dan PBI. Dalam sebuah partai yang disebut Partai Indonesia Raya (Parindra), Ketuanya adalah Dokter Sutomo. Organisasi-oraganisasi lain yang ikut bergabung dalam Parindra adalah: Serikat Sumatera, Serikat Celebes, Serikat Ambon, Kaum Betawi, dan Tirtayasa.


Bergabungnya berbagai partai membuat Parindra semakin kuat dan anggotanya tersebar di mana-mana. Jumlah anggotanya meningkat pesat. Pada tahun 1936 jumlah anggotanya berkisar 3425 orang dari 37 cabang. Cita-cita Parindra pun semakin tegas yaitu mencapai Indonesia merdeka.


Dalam kongresnya tahun 1937, Wuryaningrat terpilih sebagai ketua dibantu oleh Mohammad Husni Thamrin, Sukarjo Wiryapranoto, Panji Suroso, dan Susanto Tirtoprojo. Kerjasama antar anggota cabang-cabangnya menjadikan Parindra sebagai partai politik terkuat menjelang runtuhnya Hindia Belanda.


Di samping Parindra juga muncul organisasi lain seperti Partindo. Namun karena desakan pemerintah akhirnya partai itu bubar pada tahun 1936. Para pemimpinnya meneruskan perjuangan dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937. Tokoh-tokoh yang duduk dalam Gerindo ialah Mr. Sartono, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. Amir Syarifuddin.


Para pemimpinnya menginginkan Gerindo menjadi partai rakyat dengan asas kooperasi. Prinsip demokrasi dipertahankan untuk menahan desakan ekspansi Jepang yang makin dekat.


Perjuangan melawan pemerintah Belanda terus dilanjutkan. Di pihak lain, para pejuang juga mempersiapkan diri menghadapi Jepang yang mulai mengarah ke selatan. Namun kemudian terjadi kericuhan di dalam Gerindo, sehingga perpecahan tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu Mr. Mohammad Yamin mendirikan Partai Persatuan Indonesia pada tanggal 21 Juli 1939. Asas perjuangannya adalah demokrasi kebangsaan dan kerakyatan. Namun organisasi ini tidak mendapat tempat dalam masyarakat.


Pada masa pemerintah Gubernur Jenderal Limburg Stirum (1916-1921) dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat, yaitu pada tanggal 18 Mei 1918. Anggota dewan dipilih dan diangkat dari golongan orang Belanda, Indonesia, dan bangsa-bangsa lain. Orang Indonesia yang menjadi anggota mula-mula berjumlah 39%, kemudian bertambah dalam tahun-tahun selanjutnya. Tujuan pembentukan Dewan Rakyat adalah agar wakil-wakil rakyat Indonesia dapat berperan serta dalam pemerintahan. Akan tetapi, dewan ini tidak mencerminkan perwakilan rakyat yang sesungguhnya, karena yang berhak memilih anggota dewan adalah orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Wakil-wakil bumiputra tidak banyak mempunyai hak suara.


Meskipun demikian, partai politik yang berazaskan kooperatif mengirimkan wakil-wakilnya untuk duduk dalam Dewan Rakyat. Mereka menyalurkan aspirasi (cita-cita, harapan, keinginan) partainya melalui dewan itu. Sedang golongan nonkooperatif menganggap Dewan Rakyat hanyalah sandiwara dan mereka tidak mau duduk dalam dewan itu.


Golongan kooperatif berupaya semaksimal mungkin untuk memanfaatkan Dewan Rakyat. Pada tahun 1930 Mohammad Husni Thamrin, anggota Dewan Rakyat, membentuk Fraksi Nasional guna memperkuat barisan dan persatuan nasional. Mereka menuntut perubahan ketatanegaraan dan penghapusan diskriminasi di berbagai bidang. Mereka juga menuntut penghapusan beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda tentang penangkapan dan pengasingan pemimpin perjuangan Indonesia serta pemberangusan pers.


Pada tanggal 15 Juli 1936 Sutarjo Kartohadikusumo, anggota dewan rakyat, menyampaikan petisi agar Indonesia diberi pemerintahan sendiri (otonomi) secara berangsur-angsur dalam waktu sepuluh tahun. Jawaban terhadap petisi Sutarjo baru diberikan oleh pemerintah dua tahun kemudian. Dapat dipastikan bahwa tuntutan untuk otonomi ini ditolak pemerintah, sebab hal ini memberi peluang yang mengancam runtuhnya bangunan kolonial. Meskipun demikian, para nasionalis tetap gigih memperjuangkan tuntutan itu lewat forum parlemen semu tersebut.


Kegagalan Petisi Sutarjo bahkan menjadi cambuk untuk meningkatkan perjuangan nasional. Pada bulan Mei 1939 Muh. Husni Thamrin membentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang merupakan gabungan dari Parindra, Gerindo, PSII, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia. Pasundan, Kaum Betawi, dan Persatuan Minahasa. Tujuannya ialah agar terbentuk kekuatan nasional tunggal dalam menghadapi pemerintah kolonial. Selain itu, ancaman perang makin terasa karena Jepang sudah bergerak makin jauh ke selatan dan mengancam Indonesia.


GAPI mengadakan aksi dan menuntut Indonesia Berparlemen yang disusun dan dipilih oleh rakyat Indonesia, Pemerintah harus bertanggung jawab kepada Parlemen. Jika tuntutan itu diterima pemerintah, GAPI akan mengajak rakyat untuk mengimbangi kemurahan hati pemerintah.


Untuk mencapai cita-cita GAPI ini maka pada tanggal 24 Desember 1939 dibentuk Kongres Rakyat Indonesia. Kegiatan ini antara lain menuntut pemerintah Belanda agar menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan dan bendera merah putih sebagai bendera Nasional.


Pemerintah memberikan reaksi dingin. Perubahan ketatanegaraan akan diberikan setelah Perang Dunia II selesai. Pada 1 September 1939 pecah perang di Eropa yang kemudian berkembang menjadi Perang Dunia II. Tuntutan GAPI dijawab Pemerintah dengan pembentukan Komisi Visman pada bulan Maret 1941. Komisi yang diketuai Visman ini bertugas menyelidiki keinginan golongan-golongan masyarakat Indonesia dan perubahan pemerintahan yang diinginkan.


Namun Komisi ini hanya menampung hasrat masayarakat Indonesia yang pro pemerintah dan masih menginginkan Indonesia tetapi dalam ikatan Kerajaan Belanda. Hasil penyelidikan komisi Visman tidak memuaskan. Komisi hanya sekedar memberi angin atau berbasa basi kepada kaum nasionalis Indonesia dan tidak sungguh-sungguh menanggapi perubahan ketatanegaraan Indonesia.


Sebelum hasil Komisi Visman diwujudkan, Jepang sudah tiba di Indonesia. Meskipun demikian pihak Indonesia telah sempat mengusulkan 3 hal, yaitu :


1. Pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri;


2. Penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang Dewan Rakyat;


3. Pergantian kata Inlander (pribumi) menjadi Indonesier.12


Untuk menguatkan perjuangan GAPI, KRI, diubah menjadi Majelis Rakyat Indonesia (MRI) dalam konferensi di Yogyakarta pada tanggal 14 September 1941. Di dalam MRI duduk wakil-wakil dari organisasi politik, organisasi Islam, federasi serikat sekerja, dan pegawai negeri. Walaupun terdapat perbedaan pendapat antara organisasi-organisasi yang tergabung dalam MRI, namun persatuan dan kesatuan kaum Nasionalis terus dipupuk sampai masuknya Tentara Militer Jepang.


BAB. III
MASA PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI INDONESIA MERDEKA

Masa Pendudukan Jepang berlangsung dari tahun 1942-1945, diwarnai dengan perubahan-perubahan yang penting dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. perubahan-perubahan itu terlihat nyata dalam bidang politik, ekonomi dan sosial. Pada masa pendudukkan Jepang ini, dibentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang sangat penting artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia khususnya untuk mewujudkan kemerdekaan. Para tokoh pergerakan yang sebelumnya aktif dalam masa awal dan masa radikal melanjutkan berkiprah menuangkan gagasan-gagasannya untuk perbaikan nasib bangsanya dan kemudian berhasil memproklamasikan kemerdekaan lepas dari pengaruh Jepang.


Untuk mempelajari pelajaran-pelajaran selanjutnya, peserta sebaiknya memahami dan mempelajari masa Pendudukan Jepang terlebih dahulu.


Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang yang menjadi sekutu Jerman, menyerang pangkalan armada Amerika Serikat di Pearl Harbour (Pasifik). Sejak itu Perang Pasifik, yaitu bagian Perang Dunia II di wilayah Pasifik dimulai. Sebulan sesudah itu Jepang masuk dan menyerang Indonesia, mulai dari Tarakan (Kalimantan Timur), kemudian Sumatera dan dilanjutkan Pulau Jawa pada dua minggu kemudian.


Pemerintah Hindia Belanda memaklumkan perang pada Jepang lima jam setelah penyerbuan Pearl Harbour, tetapi pasukannya tidak sebanding dengan pasukan Jepang yang menyerbu Indonesia. Belanda hanya memiliki 4 divisi sedangkan Jepang menyerang dengan 6 sampai 8 divisi, sehingga tidak mengherankan bila Gubernur Jenderal Tjarda menyerah tanpa syarat pada Jepang di Kalijati pada 8 Maret 1942. Kekalahan itu ditanda tangani oleh Panglima tentara Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten, sedang pihak Jepang diwakili oleh Jenderal Hitosyi Imamura.


Dengan masuknya Jepang tidak berarti Pergerakan Nasional Indonesia akan berhenti. Gerakan Petisi seperti Wibowo dan Soetarjo yang muncul pada tahun 1936-an tetap menjadi landasan perjuangan kaum pergerakan di masa Jepang. Tujuan pergerakan ini adalah memberikan pemahaman agar pemerintah militer Jepang dapat lebih memahami rakyat Indonesia untuk mencapai kemerdekaannya.


Cita-cita perjuangan telah tertanam pada kaum pergerakan. Oleh sebab itu Pemerintah Militer Jepang tidak dapat menghindari terbentuknya organisasi-organisasi seperti PUSAT TENAGA RAKYAT (PUTERA), Pemuda Menteng, Perhimpunan Kebangkitan Rakyat dan lain-lain. Organisasi-organisasi ini pada hakekatnya dimotori oleh tokoh-tokoh seperti Ir. Soekarno. Ki Hajar Dewantara, KH Mas Mansur, Chairul Saleh dan lain-lain.


Munculnya tokoh-tokoh pergerakan Nasional adalah konsekuensi dari usaha untuk mensukseskan perang Asia Timur Raya. Itulah sebabnya tokoh pergerakan seperti Hatta, Syahrir, Soekarno segera dibebaskan dari tahanan. Soekarno dan Hatta kemudian bersama-sama membentuk organisasi Pusat Tenaga Rakyat ( PUTERA). Ternyata kegiatan PUTERA semakin membahayakan kedudukan Jepang, karena itu organisasi ini dibubarkan dan kemudian diganti dengan Perhimpunan Kebangkitan Rakyat (Jawa Hokokai). Selanjutnya baik di desa-desa maupun di kota juga dibentuk organisasi-organisasi pemuda seperti SEINENDAN dan KEIBODAN. Kedua organisasi ini dimaksudkan untuk membantu perang Jepang melawan Tentara Sekutu.


Gencarnya pergerakan politik pada awal pendudukan Jepang membuat pemerintah Jepang melarang semua kegiatan politik. Pada tanggal 21 Maret 1942 dikeluarkan surat keputusan untuk membubarkan semua organisasi yang bergerak di bidang politik. Jepang hanya mengijinkan organisasi sosial seperti olah raga dan kesenian. Organisasi politik dimungkinkan bila merupakan gerakan bersama untuk kepentingan bangsa Asia seperti Gerakan 3 A.


Melalui Gerakan 3 A Jepang memperkenalkan diri sebagai pembela Asia terhadap kekejaman Imperialisme Barat. Gerakan ini bersemboyan Nippon pelindung Asia, Nippon cahaya Asia dan Nippon pemimpin Asia. Gerakan ini tidak memperoleh simpati dari kaum pergerakan, apalagi dipimpin oleh seorang tokoh yang tidak terkenal seperti Mr. Syamsudin.


Perang Pasifik adalah babak baru bagi perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka. Pada tanggal 16 Juni tahun 1943 Perdana Menteri Jepang Tojo memberikan kebijakan baru untuk memperluas bidang pendidikan dan kebudayaan serta memberi kesempatan untuk ikut serta di bidang pemerintahan. Realiasi ini terlihat dengan dibentuknya badan-badan pertimbangan di daerah dan pusat. Pengangkatan orang-orang Indonesia untuk menduduki jabatan tinggi mulai nampak. Di samping itu orang-orang Indonesia mulai menjadi anggota badan penasehat pada badan-badan Pemerintahan Militer Jepang. Penempatan orang-orang pribumi pada jabatan pemerintahan di setiap keresidenan mulai nampak.


Dalam masa pemerintahan Jepang di Indonesia, wilayah pemerintahannya dibagi atas tiga bagian besar, pertama meliputi Jawa dan Madura dengan pusat pemerintahan di Batavia. Wilayah ini di bawah kekuasaan pasukan Tentara XVI. Kedua Wilayah Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Wilayah ini di bawah kekuasaan pasukan Tentara XXV. Wilayah ketiga meliputi Irian Jaya, Maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi yang berpusat di Makassar. Wilayah ini di bawah kekuasaan pasukan Armada Selatan II.


Masa pendudukan Jepang ini merupakan masa yang berat bagi orang-orang Indonesia. Orang-orang Indonesia diwajibkan mengikuti peraturan Jepang yang sangat memberatkan, seperti mengibarkan bendera Jepang, menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, melakukan seikerei dan sebagainya. Rakyat juga dipaksa untuk membantu Jepang untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya. Dengan jalan menyerahkan hasil panen, menyerahkan perhiasan dan dipaksa untuk menjadi romusha. Akibatnya kehidupan rakyat sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi mereka sangat merosot. Bahan kebutuhan sehari-hari sangat sulit didapat. Untuk mendapatkannya rakyat harus mengikuti antrian yang memakan waktu lama. Bahkan tidak jarang mereka tidak kebagian, sehingga tenaga dan waktu terbuang percuma.


Menjelang akhir tahun 1944 Jepang mendapat kekalahan dalam perang Pasifik. Akibatnya Kabinet Tojo jatuh dan digantikan oleh Kabinet Jenderal Koiso. Dalam kebijakannya kabinet Jenderal Koiso mengumumkan apa yang dikenal dengan janji kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari. Berbagai daerah pangkalan tentara Jepang dikuasai oleh Tentara Sekutu di bawah pimpinan Amerika Serikat. Di antaranya adalah daerah Balikpapan. Pada bulan Maret 1945 Panglima Tentara di Jakarta mengumumkan dibentuknya Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia ( Dokuritsu Jumbi Cosakai).


Badan baru ini bermaksud menyelidiki masalah tata pemerintahan, ekonomi, politik dalam rangka pembentukan negara merdeka. Upacara peresmian dilakukan pada tanggal 28 Mei 1945 di Pejambon yang dihadiri oleh pejabat-pejabat tinggi Jepang dan diikuti penaikan Bendera Merah Putih. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Widiodininggrat.


Dalam sidangnya pada tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 badan ini telah melahirkan konsep dasar-dasar negara. Badan penyelidik ini kemudian dibubarkan dan dibentuk badan baru Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Meskipun kekalahan Jepang sangat dirahasiakan, tetapi berkat kecepatan para pemuda, berita tentang menyerahnya Jepang kepada Sekutu, sampai juga pada pemimpin-pemimpin Indonesia. Pada tanggal 16 Agustus 1945 bertempat di Asrama Baperpi Cikini 71 Jakarta para pemuda dari berbagai kelompok mengadakan rapat dibawah pimpinan Chaerul Saleh. Rapat memutuskan agar kemerdekaan segera diproklamasikan oleh bangsa Indonesia sendiri. Para pemuda lalu mengirimkan utusan kepada Bung Karno dan Bung Hatta untuk menyampaikan hasil putusan rapat tersebut. Para pemuda juga minta agar pengumuman tentang kemerdekaan Indonesia lepas dari segala ikatan dengan Jepang. Semula Soekarno-Hatta menolak usul para utusan tadi dengan alasan bahwa mereka harus berembug dulu dengan para pemimpin lainnya serta harus mendengarkan keterangan resmi tentang penyerahan Jepang. Utusan yang terdiri atas pemuda Darwis dan Wikana akhirnya kembali dan menyampaikan hasil penolakan tersebut. Penolakan tersebut mempertajam perbedaan pendapat yang telah ada antara golongan tua dan golongan muda. Golongan muda mendesak agar proklamasi segera dilaksanakan keesokan harinya tanggal 16 Agustus 1945, sedang golongan tua masih menekankan perlunya rapat dengan PPKI terlebih dahulu.


Adanya perbedaan pendapat itu mendorong golongan pemuda untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke luar kota, dengan tujuan untuk menjauhkan mereka dari segala pengaruh Jepang. Demikianlah pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 4.30 para pemuda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok kota kecil di sebelah timur Jakarta.


Sementara itu di Jakarta tercapai kesepakatan antara golongan tua dan golongan muda bahwa Proklamasi Kemerdekaan harus dilaksanakan di Jakarta. Mr. Ahmad Subardjo memberi jaminan bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Atas jaminan itu Bung Karno dan Bung Hatta dibawa kembali ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta Bung Karno dan Bung Hatta langsung menuju rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol Noomor 1 Di rumah inilah naskah proklamasi disusun dan rumusannya berhasil diselesaikan pada menjelang subuh tanggal 17 Agustus 1945.


Pada pukul 10.00 tanggal 17 Agustus 1945 di halaman rumah kediaman Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi) naskah proklamasi tersebut diumumkan oleh Soekarno - Hatta dihadiri pemimpin-pemimpin bangsa dan berbagai kalangan pemuda. Sejak itulah Indonesia memasuki alam kemerdekaan.


Kemerdekaan yang telah dicapai itu harus dibela dan dipertahankan. Pemuda-pemuda Indonesia tampil ke depan dan mengambil tindakan-tindakan yang nyata, antara lain:


a. Berita proklamasi dikumandangkan ke seluruh tanah air dan segenap penjuru dunia oleh pemuda-pemuda yang bekerja di kantor berita PTT serta instansi-instansi lain.


b. Pemuda-pemuda yang bekerja di jawatan-jawatan mengambil alih jawatan dari tangan Jepang dengan atau tanpa kekerasan.


c. Untuk menjaga keamanan, pemerintah mula-mula membentuk BKR (BadanKeamanan Rakyat) pada 22 Agustus 1945. Kemudian para pemuda bekas anggota PETA, HEIHO, dan KNIL mengajukan usul pada pemerintah untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan TKR dibentuk tanggal 5 Oktober 1945.


TKR kemudian diganti menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) bulan Januari 1946. Selanjutnya pada 3 Juni1947, TRI diganti lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

d. Milik pemerintah Jepang seperti gedung, mobil dan lain-lain dinyatakan milik RI.


e. Slogan-slogan dan semboyan-semboyan perjuangan ditempelkan atau dicat pada tembok dan dinding-dinding kereta api.


Pihak Jepang di Indonesia sejak semula tidak mau mengakui adanya Republik Indonesia. Secara resmi Jepang ditugaskan untuk menjaga keamanan sampai tentara sekutu tiba dan diperintahkan agar tidak mengubah keadaan yang ada.



BAB. IV
PERJUANGAN UNTUK MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Masa Kemerdekaan dan Perjuangan Untuk Mempertahankan Kemerdekaan dimulai dari tahun 1945-1949, diwarnai dengan pengisian perlengkapan sebagai negara merdeka dan perjuangan bersenjata serta berbagai diplomasi antara bangsa Indonesia dengan pihak Belanda. Diplomasi itu direalisasikan dalam perjanjian-perjanjian. Intinya Belanda sebenarnya tidak rela bila Indonesia merdeka. Sehingga dengan berbagai cara Belanda ingin memecah belah republik Indonesia yang baru lahir.


Untuk mempelajari pelajaran-pelajaran selanjutnya, peserta sebaiknya memahami dam mempelajari masa kemerdekaan dan Perjuangan Untuk Mempertahankan Kemerdekaan terlebih dahulu.

1. Masa Indonesia Merdeka
Memasuki bulan Agustus 1945 kedudukan Jepang semakin kritis. Pada 6 Agustus 1945 Kota Hiroshima dibom oleh Sekutu dan disusul Kota Nagasaki pada 8 Agustus 1945. Akibatnya Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu tanggal 14 Agustus 1945. Dengan penyerahan Jepang itu terjadi kevakuman kekuasaan di Indonesia. Bangsa Indonesia kemudian mempergunakan kesempatan tersebut untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.


Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang didirikan 7 Agustus 1945 dijadikan badan nasional dengan menambah enam orang anggota sehingga badan tersebut beranggotakan 27 orang. Melihat susunan anggotanya yang mewakili seluruh tanah air, maka pada waktu itu PPKI dianggap sebagai “Badan Perwakilan” seluruh rakyat Indonesia.


Sehari setelah proklamasi, 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang pertama. Sidang tersebut berhasil mengesahkan UUD serta menunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Drs. Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden. Dalam sidang berikutnya berhasil dibentuk berbagai kementrian dan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan (8) provinsi. Selanjutnya berhasil pula dibentuk Komite Nasional, Partai Nasional dan Badan Keamanan Rakyat. Sedikit demi sedikit aparat pemerintahan semakin lengkap. Sehingga roda pemerintahan pun mulai berjalan.


Untuk menegakkan kedaulatan, negara yang baru lahir ini dihadapkan dengan berbagai tantangan. Bentrokan dengan Jepang terjadi di berbagai daerah. Demikian juga dengan Sekutu yang ternyata diboncengi oleh NICA. Perang Kemerdekaan pun terjadi di mana-mana bahkan hampir di seluruh wilayah Indonesia.


2. Usaha-usaha Belanda untuk Menghancurkan RI


Pada pertengahan September 1945 rombongan pertama pasukan Sekutu mulai mendarat. Mereka merupakan bagian dari South East Asia Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Mountbatten. Untuk Indonesia SEAC membentuk Allieu Force Netherlands East Indies (AFNEI) yang terdiri atas pasukan Inggris yang mendarat di Jawa dan Sumatera serta pasukan Australia yang mendarat di luar Jawa dan Sumatra. Pasukan ini bertugas melucuti dan memulangkan tentara Jepang serta membebaskan tawanan perang.


Pemerintah RI menerima kedatangan pasukan tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan pihak Sekutu terhadap RI. Pada tanggal 1 Oktober 1945 Letnan Jenderal Christison, menyatakan bahwa pihaknya mengakui (de fakto) pemerintahan Republik Indonesia. Semenjak itu pasukan-pasukan Inggris mulai memasuki kota-kota penting di Jawa dan Sumatera.


Namun kemudian timbul ketegangan-ketegangan baru antara pasukan Inggris dan pasukan RI yang kemudian berkembang menjadi pertempuran-pertempuran. Apalagi setelah diketahui bahwa kedatangan tentara Inggris itu diboncengi oleh NICA. Sehingga pasukan-pasukan RI tidak hanya menghadapi Jepang tetapi juga Inggris dan NICA (Belanda).


Keadaan ini sudah diduga oleh para pemimpin Indonesia. Itulah sebabnya pemerintah RI pada tanggal 5 Oktober memutuskan untuk membentuk suatu tentara dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selain itu pemerintah mengeluarkan maklumat bahwa RI akan menanggung semua hutang-hutang Nederland Indies. Dengan maklumat ini pemerintah ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa RI bukanlah negara yang masih tunduk pada Jepang, tetapi RI mengakui tata cara negara-negara demokrasi barat. Sebagai realisasi dari maklumat ini maka didirikan sejumlah partai dan dibentuk satu kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Syahrir. Tugas kabinet ini adalah menjalankan perundingan-perundingan dengan pihak Belanda, yang melahirkan perundingan di Linggarjati pada tahun 1946.


Sebelum perundingan disepakati, Kabinet Syahrir dibubarkan karena mendapat kritikan dari kelompok oposisi yaitu Tan Malaka. Namun Presiden menunjuk Syahrir untuk kembali memimpin kabinet. Dalam perundingan Kabinet Syahrir II mengusulkan bahwa pada dasarnya RI adalah negara yang berdaulat penuh atas bekas wilayah Nederland Indie. Karena itu Belanda harus menarik mundur tentaranya dari Indonesia. Mengenai modal asing pemerintah Republik Indonesia tetap akan menjamin. Selanjutnya Luitnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook mengajukan usul suatu pengakuan atas Republik Indonesia (Jawa) dan pembentukan negara Serikat. Atas anjuran Duta Istimewa Inggris Clark Kern, Syahrir memberi konsensus pada bulan Maret itu juga, yaitu agar Belanda mengakui RI di Jawa dan Sumatera saja dan agar bersama-sama Belanda membentuk Republik Indonesia Serikat. 21


Keinginan Belanda lewat tentara Sekutu dinyatakan oleh Van Mook pada tanggal 19 Januari 1946. Kehadirannya adalah bermaksud menciptakan negara persemakmuran (commenwealth). Anggotanya adalah kerajaan Belanda, Suriname, Curocao dan Indonesia. Urusan ke luar commenwealth itu dipegang oleh kerajaan Belanda sedangkan urusan ke dalam dipegang oleh masing-masing negara.


Pada perundingan bulan Mei 1946, Van Mook mengusulkan agar Republik Indonesia bersedia membentuk Commentwealth dan pengakuan Belanda atas kekuasaan RI di Jawa dan Madura dikurangi kota-kota yang telah diduduki Sekutu. Usul ini tentu saja ditolak oleh pihak RI. Pemerintah tetap menolak ide Commentwealth dan tetap menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa, Madura, dan Sumatera.


Kesulitan-kesulitan yang dihadapi di meja perundingan antara Indonesia dan Belanda mengenai pengakuan kedaulatan RI dan intimidasi Belanda di luar Jawa dan Sumatera. Di samping itu munculnya oposisi Tan Malaka dengan Persatuan perjuangannya yang dengan gencar menyerang pemerintah. Sikap ini memuncak dengan meletusnya pergolakan di daerah-daerah Solo untuk menghapuskan daerah istimewa Surakarta. Keadaan sedemikian kritisnya, sehingga Presiden merasa perlu mengumumkan keadaan bahaya. Status keadaan bahaya diperlakukan untuk seluruh Indonesia karena pihak Tan Malaka berhasil menculik Sutan Syahrir bersama Mayor Jenderal Sudibyo, Dr. Darmasetiawan, dan Dr Sumitri. Atas seruan Presiden para penculik kemudian membebaskan Syahrir dan kawan-kawan. Kemudian pihak PP mencoba memaksa Presiden untuk menyusun pemerintah baru yang dipimpin oleh kawan-kawan Tan Malaka pada tanggal 3 Juli 1947, tetapi Presiden tetap menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Kabinet Syahrir III terbentuk Oktober 1946.


Dari pihak Belanda intimidasi dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Malino bulan Juli 1946 untuk membentuk “negara-negara“ di wilayah-wilayah yang akan ditinggalkan tentara Sekutu. Ini jelas bertentangan dengan kehendak RI yaitu agar negara-negara bagian dalam Republik Indonesia dibentuk bersama-sama RI dan Belanda.


Sementara itu pihak Inggris ikut berbicara dengan maksud agar penarikan tentara Sekutu (Inggris) berjalan secepat mungkin, agar utusan Inggris di bawah pimpinan Lord Killearn tiba pada bulan Agustus dan mengusulkan antara lain syarat-syarat gencatan senjata antara RI dengan Belanda. Pemerintah Indonesia menyetujui usul ini dan mengirim perwira-perwira tentara Republik Indonesia untuk menyelesaikan masalah tehnis gencatan senjata.


Sementara itu perundingan dengan pihak Belanda dilanjutkan setelah Kabinet Syahrir III disyahkan dalam bulan Oktober 1946. Delegasi Indonesia yang dipimpin Sutan Syahrir mengajukan usul agar Indonesia diakui kedaulatannya, pihak Belanda mengajukan usul Commenwealth lagi. Tetapi akhirnya tercapai juga suatu konsessus. Perundingan yang dilakukan di Linggarjati dikeluarkan hasilnya pada tanggal 15 November 1946. Belanda dan Republik Indonesia Serikat berada dalam suatu Uni Indonesia-Belanda. Jadi ide Commenwealth gugur, dan kekuasaan RI meliputi Jawa, Sumatera. Namun hasil persetujuan Linggarjati ini ternyata tidak bisa diterima oleh PNI, Pertindo, Partai Katolik, Masyumi, dan laskar-laskar (Partai sosialis dan Kabinet Syahrir dengan sendirinya mendukung). Dengan perantaraan wakil Presiden Moh. Hatta akhirnya persetujuan itu bisa disyahkan oleh KNIP yang pada waktu itu berfungsi sebagai parlemen dalam sidangnya di Malang tanggal 25 Maret 1947. Seminggu sebelumnya, 12 Februari persetujuan gencatan senjata juga ditandatangani oleh pihak militer.


Pelaksanaan dari kedua persetujuan itu ternyata tidak mudah. Masing-masing pihak membuat interpretasinya sendiri. Salain itu kabinet Syahrir mendapat tantangan hebat dari partai-partai. Sebab itu akhirnya Sutan Syahrir meletakkan jabatan. Sebagai penggantinya Presiden mengangkat Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri.


Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda tiba-tiba melancarkan Agresi militer I dan berhasil menerobos pertahanan RI. Tentara Republik Indonesia bertahan dengan melancarkan perang gerilya. Pada akhir Juli 1947 India dan Australia mengajukan tuntutan mengenai agresi Belanda itu pada Dewan Keamanan PBB dan DK-PBB memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus 1947. Selain itu suatu komisi konsuler yang terdiri atas konsul-konsul Amerika Serikat, Cina, Belgia, Perancis, Inggris, dan Australia di Jakarta, ditugaskan PBB untuk menyelidiki masalah-masalah itu dan melaporkan pada Dewan Keamanan. Amerika Serikat kemudian mengusulkan pada Dewan Keamanan untuk membentuk suatu komisi yang mengawasi pelaksanaan gencatan senjata. Komisi yang terdiri atas Dr. Frank Graham (AS), Richard Kirby (Australia) dan Paul Vanzeelant (Belgia), di Indonesia dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) atau komisi jasa baik. Komisi ini hanya mempunyai wewenang dalam bidang militer, sedangkan dalam bidang politik komisi hanya mempunyai hak mengusulkan.


Komisi yang mulai bekerja pada bulan Oktober 1947 itu membuka kembali perundingan-perundingan politik antara Indonesia dan Belanda. Pihak Indonesia dalam perundingan ini dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Ia ternyata adalah seorang komunis. Perundingan itu dilakukan di atas kapal USS Renville pada tanggal 8 Desember 1947. Selain itu ada suatu komisi teknis yang dipimpin oleh dr. J. Leimana dibentuk untuk menyelesaikan masalah gencatan senjata. Pihak Belanda menginginkan agar masalah gencatan senjata itu diselesaikan dulu sebelum masalah politik dirundingkan. Namun utusan Indonesia beranggapan masalah politiklah yang paling penting. Dengan demikian perundingan Renville dihentikan untuk sementara.


Tidak lama kemudian utusan RI menyetujui Belanda agar masing-masing pihak mendekati Komisi Tiga Negara (KTN) untuk merundingkan sikap politiknya. Hasil perundingan ini KTN berpendapat bahwa perjanjian Linggarjati harus dijadikan landasan perundingan politik. Pihak Belanda menanggapi usul KTN dengan usul 12 prinsip politik yang pada dasarnya tidak menginginkan adanya Republik Indonesia. Pihak RI bahkan hanya berhasil mengatasi keadaan dengan mengajukan 6 prinsip politik tambahan. Utusan RI menerima usul ini, karena ketentuannya adalah diadakan plebisit di Indonesia untuk menentukan apakah daerah-daerah bersedia atau tidak bergabung dengan RI. Pihak Belanda pun menerima. Sementara itu muncul masalh-masalah di dalam negeri, khususnya intimidasi dari Belanda, yaitu pembentukan negara-negara boneka. Untuk menghadapi Belanda, Amir Syarifuddin mengganti anggota-anggota kabinet agar menjadi lebih kuat, namun setelah Renville ditandatangani Masyumi dan PNI menarik anggota-anggotanya dari kabinet. Akibatnya Kabinet Amir Syarifuddin yang hanya didukung oleh sayap kiri (partai-partai yang beraliran Marxisme). Kabinet Amir pun jatuh.


Presiden kemudian menunjuk Drs. M. Hatta sebagai formatur. Kabinet Hatta terbentuk tanpa sayap kiri tetapi dengan dukungan Masyumi, PNI, Parkindo, dan Partai Katolik. Program kabinet Hatta adalah pelaksanaan persetujuan Renville, pembentukan RIS, rasionalisasi tentara dan pembangunan.


Untuk pembentukan RIS dan plebisit, Perdana Menteri Hatta menunjuk Mr. Moh. Roem dan Belanda yang diwakili Abdul Kadir Widjojoatmodjo. Perundingan dilaksanakan di Kaliurang tetapi gagal. Hal ini disebabkan adanya desas-desus yang sengaja disebar luaskan oleh pihak komunis, bahwa RI mengadakan hubungan politik dengan Uni Soviet. Reaksi Belanda atas desas-desus ini adalah minta kepada RI yang isinya adalah, pertama, agar dalam masa peralihan (menjelang terbentuknya RIS) kedaulatan di seluruh Indonesia berada dalam tangan Belanda, kedua agar hubungan dengan Uni Soviet dihentikan. RI menjawab kedudukan RI tidak bisa diubah.


Sementara itu Amir Syarifuddin membentuk apa yang disebut Front Demokrasi Rakyat, yaitu suat persatuan antara golongan komunis dan unsur-unsur radikal lainnya. Mereka memancing konflik dengan golongan Hatta dan mentuut reshoffle kabinet. Kemudian timbul kekuatan lain yang dipimpin Tan Malaka dalam bentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang berusaha mengimbangi FDR, untuk kepentingan politiknya sendiri.


Sementara keadaan begitu gawat, pada bulan Agustus 1948, Muso, seorang tokoh PKI yang lari ke Moskow sejak tahun 1926, kembali ke Yogyakarta. Muso membawa politik baru dari Rusia, yaitu agar parta-partai yang beraliran Marxisme disatukan menjadi PKI. Pada akhir bulan Agustus itu juga partai sosialis dari Amir Syarifuddin dan Partai Buruh disatukan menjadi PKI. Parta ini dipimpin oleh Muso. Taktik perjuangan yang digariskan dari Moskow adalah melawan golongan nasional maupun kolonial (Belanda). Rapat-rapat raksasa mulai dilakukan untuk menyebarkan sikap ini.


Pada taraf pusat, FDR yang dipimpin PKI itu menentang rasionalisasi tentara, yaitu penyatuan tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar menjadi Tentara Nasional Indonesia. Pihak PKI ingin tetap memelihara laskar-laskarnya untuk mengimbangi tentara. Kabinet Hatta tetap tidak tergoyahkan dan mendapat dukungan Masyumi, PNI dan Laskar seberang (KRIS, IPR, SRSK) yang dipimpin J. Latuharhari.


Keadaan mulai meruncing di Solo, daerah yang banyak dikuasai unsur-unsur FDR. Pada tanggal 18 September 1948 PKI memproklamasikan Republik Soviet Indonesia di Madiun. Pemberontakan Madiun dimulai. Kolonel Djokosuyono diangkat oleh PKI menjadi “Gubernur Militer” dan Kol. Dahlan menjadi komandan Komando Pertahanan di Madiun. Muso mulai melancarkan serangan-serangan politik terhadap kabinet Hatta melalui pemancar radio Madiun. Pemerintah bertindak tegas. Pasukan TNI dikerahkan secara besar-besaran pada tanggal 20 September 1948 dan pada tanggal 30 September, Kota Madiun dapat direbut kembali. Pertempuran dilanjutkan sampai Muso tewas dan Amir Syarifuddin tertangkap. Meskipun demikian banyak pemimpin PKI yang meloloskan diri ke daerah pendudukan Belanda, antara lain D.N. Aidit.


Sementara masalah PKI belum teratasi, Belanda melakukan Agresi II pada tanggal 19 Desember 1948. Dalam serbuan ke Yogyakarta, Presiden dan Wakil Presiden tertangkap oleh Belanda. Meskipun begitu Pemerintah berhasil mengirimkan telegram kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sementara Panglima besar Sudirman masih terus bergerilya. Sebulan setelah serangan Belanda, TNI berhasil mengadakan konsolidasi. Perang gerilya dilancarkan dengan cara menghadang garis komunikasi logistik pasukan Belanda, memutuskan telepon, dan merusak jalan kereta api. Belanda dapat menguasai kota-kota besar di Jawa dan Sumatera tetapi daerah pedesaan tetap berada dalam tangan RI. Rakyat dikerahkan untuk membantu TNI dalam hal intel, logistik dan keperluan lain. Inilah yang dkenal dengan strategi Perang Rakyat Semesta.


Sementara TNI berhasil mengatur pertahanannya, Dewan Keamanan PBB mengambil tindakan. Wakil Amerika Serikat menyerukan gencatan senjata dan memerintahkan KTN bekerja kembali. Belanda ditekan dengan mengancam penghentian bantuan Marshaal Plan (Bantuan Amerika Serikat pada negara-negara untuk membangun industri yang rusak selama perang Dunia II).


Perundingan pertama dimulai antara PM Belanda Dr. Beel dan Prf. Dr. Supomo dan anggota-anggota delegasi RI pada perundingan Renville. Selain itu antara RI dan negara-negara buatan Belanda yang tergolong dalam BFO (Bjeenkomst voor Federal Overleg) juga diadakan pendekatan. BFO kemudian menemui Presiden dan Wakil Presiden yang sedang ditawan di Bangka. Pihak RI mengajukan usul agar dibicarakan tentang pengakuan kedaulatan, penarikan pasukan Belanda dan pengembalian Pemerintahan RI di Yogyakarta. BFO menyatakan dukungan pengembalian pemerintahan RI di Yogyakarta dn menyerukan agar PBB membentuk suatu panitia untuk membantu melaksanakan resolusi PBB di Indonesia.


Pada bulan April perundingan dimulai antara delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem dan Dr. J. H. Van Royen dari pihak Belanda. Pertemuan di Hotel Des Indes (kini Duta Merlin) itu diawasi dan dipimpin Marle Cochran, wakil dari Amerika Serikat dalam komisi PBB (UNCI : United Nations Commision of Indonesia). Dalam perundingan ini pihak Indonesia menuntut agar Presiden dan Wakil Presiden dikembalikan ke Yogyakarta dan agar Belanda mengakui RI. Perundingan berjalan sangat lamban, sehingga Drs. Hatta didatangkan dari Bangka untuk langsung berunding dengan Dr. Van Royen. Dengan demikian pada bulan Mei 1949 dicapai persetujuan Roem-Royen dan pemerintah Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, setelah cara-cara pengosongan Yogyakarta oleh tentara Belanda disepakati.


Setelah perundingan dengan pihak BFO yang sudah dimulai sejak di Bangka, maka pada bulan Juli 1949 di Yogyakarta dicapai persetujuan bahwa akan dibentuk negara federal yang bernama RIS. Kemudian diselenggarakan Konferensi Antar Indonesia di Jakara (Juli) yang dipimpin Drs. Hatta dan berhasil memutuskan untuk membentuk Panitia Persiapan Nasional sebelum maju ke KMB (Konferensi Meja Bundar).


Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949 dan berakhir pada tanggal 2 November 1949. Hasilnya direalisasikan oleh KNIP pada tanggal 14 Desember 1949. Pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan Pemilihan Presiden RIS dan pada keesokan harinya Soekarno disahkan sebagai Presiden RIS. Pada tanggal 20 Desember 1949 kabinet RIS dibentuk dan dipimpin Drs. Mohammad Hatta, kemudian pada tanggal 23 Desember 1949 pimpinan kabinet RIS bertolak ke Den Haag untuk menandatangani pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.



3. Kondisi Ekonomi Masa Perang Kemerdekaan


Pada kesempatan ini akan dibahas kondisi ekonomi pada masa perang kemerdekaan. Di sini anda akan mengetahui usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah RI yang baru saja merdeka baik di bidang moneter perdagangan maupun penataan sektor-sektor lain.


Pelajaran ini merupakan lanjutan dari pelajaran sebelumnya yang telah membahas kondisi politik pada periode yang sama. Dengan mempelajari pelajaran ini diharapkan anda akan mampu menjelaskan:


a. Masalah moneter pada masa perang kemerdekaan


b. Masalah perdagangan pada masa perang kemerdekaan


c. Masalah penataan sektor-sektor lain.


4. Masalah Moneter


Di bidang ekonomi negara baru ini menghadapi kenyataan yang cukup sulit. Laju inflasi sangat tinggi. Ternyata sumber inflasi adalah kekacauan moneter. Sampai bulan Agustus 1945 mata uang Jepang yang beredar di Jawa berjumlah 1,6 milyar. Jumlah uang beredar semakin meningkat ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota dan menguasai beberapa bak. Mereka ini kemudian mengedarkan uang cadangan bank sebesar 2,3 milyar untuk membiayai kegiatan mereka. Sementara itu pajak dan bea masuk sangat berkuang, sebaliknya pengeluaran negara makin bertambah.


Karena belum mempunyai mata uang sendiri pada masa awal itu pemerintah RI menetapkan berlakunya tiga macam mata uang sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah RI. Tiga mata uang tersebut adalah mata uang De Javasche Bank, mata uang Pemerintah Hindia Belanda dan mata uang pendudukan Jepang.


Selanjutnya untuk mengatasi kesulitan moneter pemerintah mengusahakan pinjaman nasional. Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) Menteri Keuangan Ir. Surachman melaksanakan pinjaman yang direncanakan meliputi Rp.1.000.000.000,00, yang dibagi menjadi dua tahap. Pinjaman tersebut akan dibayar kembali selambat-lambatnya dalam waktu 40 tahun. Pada bulan Juli seluruh penduduk di Jawa dan Madura diharuskan menyetorkan uang pada Bank Tabungan Pos dan rumah-rumah pegadaian. Pinjaman tahap I berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 500.000,00. Sukses ini menunjukkan besarnya dukungan rakyat pada pemerintah.


Namun upaya pemerintah itu tidak berhasil mengatasi inflasi, karena pihak Sekutu dalam hal ini NICA juga mengeluarkan uang baru di wilayah yang diduduki Sekutu. Uang baru itu dikenal dengan uang NICA dimaksudkan untuk menggantikan uang Jepang yang sudah sangat menurun nilainya. Penggantian uang itu diumumkan sejak 6 Maret 1946. Kurs ditentukan 3% artinya setiap satu rupiah uang Jepang sama nilainya dengan tiga sen uang NICA. Perdana menteri RI Sutan Syahrir memprotes panglima AFNEI karena melanggar persetujuan yang telah disepakati bersama. Yaitu selama belum ada penyelesaian politik status Indonesia, tidak akan dikeluarkan mata uang baru. Kepada masyarakat pemerintah mengingatkan bahwa di wilayah RI hanya berlaku tiga macam uang sebagaimana yang telah diumumkan pada 1 Oktober 1945. Penduduk tidak dibenarkan mempergunakan mata uang NICA sebagai alat pembayaran.


Sehubungan dengan itu Pemerintah RI kemudian mengeluarkan uang kertas baru yang dikenal dengan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) untuk mengganti mata uang Jepang. Kurs uang baru ini ditetapkan satu per seribu, artinya seribu uang Jepang sama nilainya dengan satu rupiah ORI. Untuk sementara pemerintah hanya mengizinkan setiap keluarga memiliki Rp. 300,00 dan yang tidak berkeluarga Rp. 100,00.


Usaha lain yang dilakukan pemerintah dalam memperbaiki moneter adalah pembentukan Bank. Mula-mula dibentuk Bank Rakyat Indonesia sebagai lanjutan dari Shomin Ginko. Bank ini merupakan bank negara yang bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia. selanjutnya pada 1 November 1946 dibentuk Bank Negara Indonesia yang berawal dari Yayasan Pusat Bank yang didirikan Margono Djojohadikusumo bulan Juli 1946.


5. Perdagangan Indonesia


Walaupun sedang menghadapi blokade Belanda, RI mulai merintis perdagangan internasional dengan memberikan bantuan beras pada India. Saat itu India sedang tertimpa bahaya kelaparan. Sebagai imbalan, India akan mengirimkan bahan pakaian yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Tindakan pemerintah ini sebenarnya lebih bersifat politik, karena berdasarkan Persetujuan Linggarjati, RI diharuskan menjual surplus berasnya ke daerah-daerah yang diduduki Belanda. Namun pemerintah menganggap lebih menguntungkan untuk menjual berasnya pada negara sahabat dari pada membantu Belanda.


Di samping itu pemerintah juga mengadakan hubungan dagang langsung dengan luar negeri. Usaha ini dirintis oleh Banking and Trading Corporation (BTC) dibawah pimpinan Sumitro Djojohadikusumo. BTC berhasil mengadakan transaksi dengan Isbrantsen Inc sebuah perusahaan swasta Amerika Serikat. Isbrantsen bersedia membeli barang-barang Indonesia (gula, karet, teh, dan lain-lain) dan membawa barang-barang pesanan Indonesia. ternyata kapal yang membawa barang-barang tersebut berhasil disita oleh Angkatan Laut Belanda.


Di Sumatera pemerintah juga berusaha menembus blokade Belanda. Sejak tahun 1946 sampai akhir perang kemerdekaan usaha ini dilakukan dengan perahu layar dan motor ALRI. Beberapa aparat Pemda Aceh juga mencoba menembus blokade ke negara terdekat Singapura dan Malaya. Bahkan sejak awal tahun 1947 Pemerintah RI telah berhasil membentuk perwakilan resmi di Singapura yang diberi nama Indonesia Office (Indoff). Badan ini dipimpin oleh Mr. Oetojo Ramelan dibantu Soerjono, Daroesman, Mr. Zairin Zain, Thaharudin Ahmad, dr. Soeroso dan Tamtomo. Secara resmi Indoff memperjuangkan kepentingan politik di luar negeri, namun secara rahasia badan ini adalah pengendali usaha penembus blokade dan melakukan perdagangan barter.


Kementerian Pertahanan juga membentuk perwakilan di luar negeri disebut Kementerian Pertahanan Usaha Luar Negeri (KPULN) dipimpin oleh Ali Jayengprawiro. Tugas pokok KPULN adalah membeli senjata dan menembus blokade musuh. Sampai tahun 1946 Belanda hanya berhasil menguasai Pelabuhan Belawan sehingga RI masih dapat menyelundupkan barang ke luar. Selama tahun 1946 barang yang diterima Singapura dari Sumatera seharga Strait $ 20.000.000,00, sedang dari Jawa straits $ 1.000.000,00. Sebaliknya barang-barang yang dikirim dari Singapura ke Sumatera seharga Straits $ 3.000.000,00 dan ke Jawa seharga $ 2.000.000,00.



6. Penataan Sektor-sektor Lain


Pada awal kemerdekaan itu pemerintah menghadapi beberapa masalah ekonomi yang sangat mendesak. Masalah-masalah tersebut yaitu: masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, dan status dan administrasi perkebunan-perkebunan.


Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut pemerintah kemudian menyelenggarakan Konperensi Ekonomi pada bulan Februari 1946. Konperensi ini dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo dan dihadiri oleh para gubernur, para cendikiawan dan pejabat-pejabat lain yang terkait.


Konperensi memutuskan untuk menghapus sistem autarki dalam pelaksanaan produksi dan distribusi untuk secara berangsur-angsur diganti dengan sistem desentralisasi. Untuk itu kemudian dibentuk Badan Pengawas Makanan Rakyat yang kemudian mejadi Badan Persediaan dan Pembagian Bahan Makanan (BPPBM). Badan ini dibawah supervisi Kementerian Kemakmuran dan dipimpin oleh dr. Sudarsono. Konperensi juga berhasil mengadakan penilaian kembali tentang status dan administrasi perkebunan yaitu semua perkebunan dikuasai negara di bawah pengawasan Menteri Kemakmuran.


Pada 16 Mei 1946 pemerintah merasa perlu untuk menyelenggarakan konperensi ekonomi kedua yang diadakan di Solo. Dalam konperensi itu dibahas program ekonomi pemerintah, masalah keuangan negara, pengendalian harga, distribusi dan alokasi tenaga manusia. Wakil Presiden Moh. Hatta mengarahkan agar rehabilitasi pabrik-pabrik gula, karena gula merupakan bahan ekspor yang terpenting, karena itu pengusahaannya harus dikuasai negara. Hasil ekspor gula diharapkan dapat dijual atau ditukar dengan barang-barang lain.


Saran Moh. Hatta direalisasi dengan membentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN). Status badan tersebut adalah perusahaan negara, yang dipimpin oleh Notosudirdjo. Di samping itu dibentuk pula Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang juga merupakan perusahaan negara. Tugas PPN adalah:


a. meneruskan pekerjaan bekas perusahaan perkebunan yang dikuasai oleh Jepang,


b. mengawasi perkebunan bekas milik Belanda,


c. mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya, dengan cara mengawasi mutu produksinya.


Selanjutnya Menteri Kemakmuran Dr. AK. Gani pada 19 Januari 1947 membentuk Planning Board (Badan Perancang Ekonomi). Badan ini bertugas membuat rencana pembangunan ekonomi, mengkoordinasi dan merasionalisasi semua cabang produksi dalam bentuk badan hukum.


Sesuai dengan planning board, untuk membiayai pembangunan 10 tahun ini pemerintah mengerahkan dana-dana masyarakat, yaitu dengan pinjaman nasional dan tabungan rakyat serta pinjaman luar negeri. Di samping itu juga mengikutsertakan badan-badan swasta dalam pembangunan ekonomi.


Rencana itu ternyata tidak sempat dilaksanakan karena situasi politik militer tidak memungkinkan. Aksi militer Belanda pertama mengakibatkan sebagian besar daerah Republik yang potensial jatuh ke tangan musuh. Wilayah RI hanya tinggal beberapa keresidenan di Jawa dan Sumatera, itu pun merupakan daerah minus dan berpenduduk padat.


Moh. Hatta yang menjabat perdana menteri sejak tahun 1948 mencoba mengatasi kemerosotan ekonomi dengan tindakan yang realitas, yaitu rasionalisasi. Rasionalisasi meliputi penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang dan aparat ekonomi. Sejumlah satuan angkatan perang dan laskar disalurkan pada bidang yang produktif dan diurus oleh kementerian pembangunan dan pemuda.


Karena sumber dana yang utama adalah sektor pertanian, maka bidang ini akan diaktifkan kembali. Menteri Urusan Bahan Makanan Kasimo membuat rencana produksi tiga tahun 1948-1950 yang dikenal sebagai Plan Kasimo yang pada dasarnya adalah usaha swasembada pangan, Kasimo menyarankan agar tanah-tanah kosong di Sumatera Timur seluas 281.277 ha ditanami. Di Jawa diadakan intensifikasi dengan menanam bibit padi unggul. Hewan yang berperanan penting dalam produksi pangan dipelihara sebaik-baiknya, dalam arti tidak disembelih. Sensus hewan pun harus dilaksanakan. Di setiap desa harus dibentuk kebun-kebun bibit untuk memberikan bibit yang baik lagi bagi rakyat. Plan Kasimo juga meliputi transmigrasi.


Sementara itu Badan Perancang yang dibentuk dr. AK. Gani diperluas menjadi Panitia Siasat Ekonomi yang dipimpin sendiri oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, sedangkan dr. AK. Gani menjadi wakilnya. Tugas panitia ini adalah mempelajari, mengumpulkan data, dan memberi bahan masukan bagi kebijaksanaan pemerintah dan perencanaan pembangunan ekonomi. Di samping juga memberikan nasehat-nasehat dalam rangka perundingan dengan Belanda.


Panitia pemikir ini menghasilkan dasar-dasar pokok rancangan ekonomi Indonesia, yang berisi program pembangunan jangka panjang, dengan tujuan untuk memperbesar dan menyebarkan kemakmuran rakyat secara merata, dengan cara:


a. Mengintensifkan usaha produksi,


b. Memajukan pertukaran internasional,


c. Mencapai taraf hidup yang lebih rendah,


d. Mempertinggi derajat dan kecakapan rakyat.


Adapun petunjuk pelaksanaan yang harus diikuti adalah sebagai berikut :


a. Sektor perdagangan digiatkan kembali. Impor dibatasi pada barang-barang yang penting seperti bahan pakaian, bahan baku untuk industri, dan alat transport. Eksport meliputi hasil-hasil perkebuan, hasil hutan, dan tambang. Penyebaran penduduk dilakukan dengan cara memindahkan 20 juta penduduk Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 15 tahun. Dengan demikian diharapkan kemakmuran di Jawa berkembang dan terbuka kemakmuran baru di Sumatera. Dasar politik ekonomi pemerintah adalah pasa 33 Undang-Undang Dasar 1945, karena semua perusahaan vital harus dikuasai oleh negara. Perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan listrik dan air, perusahaan kereta api dan term, pos dan telekomunikasi serta bank sirkulasi.


b. Selama masa perang kemerdekaan, kegiatan ekonomi dikuasai pemerintah sehingga partisipasi pengusaha-pengusaha swasta kurang menggembirakan. Karena itu di dalam kongres Persatuan Tenaga Ekonomi di Malang, Wakil Presiden Moh. Hatta menganjurkan agar para pengusaha swasta memperkuat wadah persatuannya.


c. Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE) dibawah pimpinan BR. Motik menggiatkan kembali partisipasi pengusaha swasta. Tujuannya adalah menggalang dan melenyapkan individualisme di kalangan organisasi organisasi pedagang untuk memperkokoh ekonomi bangsa Indonesia. Bahkan Presiden Soekarno pernah menjanjikan bila PTE meningkatkan partisipasinya, calon-calon PTE akan diangkat dalam Komite Nasional Pusat. Dianjurkan juga agar pemerintah daerah membantu usaha-usaha PTE, namun karena situasi perusahaan yang berada di bawah PTE semakin mundur, PTE hanya berhasil mendirikan Bank PTE di Yogyakarta dengan modal pertama Rp. 5.000.000,00. Kegiatan PTE semakin mundur akibat aksi militer Belanda PTE kemudian mencurahkan kegiatannya pada bidang perbankan.


d. Usaha swasta lain yang membantu pemerintah adalah Banking and Trading Corporation (BTC). Menurut Dr. Sumitro Djojohadikusumo, BPC adalah langkah persiapan organisasi badan perdagangan nasional, jika sewaktu-waktu perjuangan politik beralih ke perjuangan ekonomi. Selain itu beberapa perusahaan lain dari kalangan swasta bergabung dalam bentuk gabungan perusahaan. Misalnya Gabungan Perusahaan Perindustrian dan Perusahaan penting yang berpusat di Malang dan Pusat Perusahaan Tembakau Indonesia (Puperti) yang berpusat di Cirebon. Produksi Puperti mencapai 170 juta batang rokok untuk konsumen di Jawa.


Dalam sidang berikutnya berhasil dibentuk berbagai kementerian dan pembagian wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi.


7. Kembali ke Negara Kesatuan


Negara Republik Indonesia Serikat adalah negara yang terdiri atas negara-negara bagian. Negara RIS ini terbentuk sebagai tidak lanjut dari hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) tanggal 2 November 1949 di Den Haag. RIS terdiri atas 16 negara bagian, yaitu: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Jawa Tengah, Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Dayak Besar, Banjar, Bangka Belitung dan Riau.


Ir. Soekarno diangkat sebagai presiden dan Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menteri. Kabinet pun dibentuk dengan anggota-anggota antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr. Wilopo, Prof. Dr. Supomo, dr. Leimena, Arnold Monomutu, Ir. Hertinglaoh, Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung. Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya). Ternyata sebagian besar dari anggota kabinet ini adalah pendukung unitarisme (kesatuan). Karena itu tidak beberapa lama setelah RIS berdiri, gerakan-gerakan untuk membubarkan negara federal dan membentuk negara kesatuan telah ada. Gerakan tersebut makin lama makin kuat. Apalagi pembentukan negara federal tidak berdasarkan landasan konsepsional yang kuat. Pembentukan negara federal pada awalnya hanya merupakan tindak lanjut dari usaha Belanda untuk menghancurkan RI. Karena itu banyak mendapat tantangan dari sebagian besar rakyat RI.


Bahkan ternyata di kalangan negara-negara bagian bentukan Belanda pun ada gerakan yang kuat untuk menentang bentuk negara federal tersebut. Mereka menginginkan menegakkan kembali negara kesatuan RI. Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan tegas menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan RI. Kedua negara bagian tersebut kemudian menyerahkan mandatnya pada Pemerintah RIS untuk mengadakan pembicaraan mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan pemerintah RI tanggal 19 Mei 1950, pembentukan Negara Kesatuan direalisasi. Kemudian dibentuk Panitia Gabungan RIS – RI yang bertugas merancang UUD Negara Kesatuan yang diselesaikan pada 20 Juli 1950. Rancangan UUD ini ditandatangani oleh Presiden Soekarno 15 Agustus 1950 yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementara RI 1950 (UUDS 1950). 32



BAB. V
DEMOKRASI LIBERAL 1950-1959


Pada masa Demokrasi Liberal yang dimulai tahun 1950 hingga 1959, diwarnai dengan adanya munculnya partai-partai yang saling berebut untuk menduduki kabinet. Pada masa ini ada dua partai yang sangat menonjol dalam percaturan politik yaitu PNI dan Masyumi. Sehingga masa ini diidentifikasikan dengan masa jatuh bangunnya kabinet.


Masa Demokrasi Liberal kepemimpinan negara diatur menurut Undang-undang Dasar yang bertanggung jawab kepada parlemen. Dan kabinet disusun menurut pertimbangan kekuatan kepartaian dalam parlemen dan sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai itu.


Sebelum melanjutkan kegiatan belajar berikutnya peserta diharapkan mempelajari masa Demokrasi Liberal.


1. Arti Sistem Demokrasi Liberal

Suatu bentuk sistem politik dan pemerintahan yang bersendikan pada asas-asas liberalisme yang ada dan berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di Indonesia sistem Demokrasi Liberal berlangsung sejak tahun 1950 sampai tahun 1959 saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada masa ini perrgantian kabinet dilatarbelakangi oleh perbedaan yang tajam antara partai-partai melawan partai yang memerintah. Bahkan pernah terjadi partai menjatuhkan kabinetnya sendiri.

2. Kondisi Politik Masa Demokrasi Liberal


Masa Liberal di Indonesia (1950-1959) biasa pula disebut masa kabinet parlementer. Kabinet parlementer adalah kabinet yang pemerintahan sehari-hari dipegang oleh seorang Perdana Menteri. Dalam masa Kabinet Parlementer ini ternyata konflik partai di Indonesia sangat tinggi sehingga kabinet terpaksa jatuh bangun.


Kabinet disusun berdasarkan pertimbangan kekuatan kepartaian. Karena itu bila dianggap tidak berhasil, sewaktu-waktu kabinet dapat dijatuhkan. Sehubungan dengan itu pada masa Demokrasi Liberal sering terjadi pergantian kabinet. Hal ini terjadi terutama karena sering terjadi konflik di antara partai-partai politik. Sebagai contoh pertentangan antara Masyumi dan PNI. Pertentangan antara kedua partai besar ini dalam parlemen tidak pernah dapat didamaikan sehingga menjadi berlarut-larut.


Seringnya pergantian kabinet membuat masa yang singkat itu (1950-1959) dikuasai oleh beberapa kabinet. Kabinet-kabinet tersebut adalah : Kabinet Natsir (Masyumi 1950-1951), Kabinet Sukiman (Masyumi 1951-1952), Kabinet Wilopo (1952-1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (PNI 1953-1955), Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi 1955-1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dan akhirnya Kabinet Djuanda (Zaken kabinet 1957-1959).


Jatuh bangunnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal disebabkan karena adanya konflik antara partai politik. Misalnya Kabinet Natsir jatuh karena PNI menentang kebijakannya mengenai Irian Jaya. Konflik partai Masyumi dan PNI ini dimenangkan oleh Masyumi dan menjadikan kabinet Sukiman berkuasa.


Kabinet Sukiman tidak berlangsung lama karena ia dijatuhkan oleh PNI. Partai Nasional Indonesia menentang penandatanganan program bantuan Amerika Serikat kepada pemerintah RI. Alasan penolakannya adalah karena bantuan itu dapat dipakai sebagai alat untuk memasukkan RI ke dalam Blok Amerika Serikat. Dengan demikian menurut PNI, Indonesia tidak bersikap bebas aktif lagi dalam melihat “Perang Dingin” antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat.


Untuk mengurangi konflik antara PNI dan Masyumi itu Presiden menunjuk tokoh moderat dari PNI untuk memimpin Kabinet, maka terbentuklah Kabinet Wilopo (1952-1953). Kabinet ini bertugas mengadakan persiapan pemilihan umum dan pembentukan dewan konstituante. Namun sebelum tugas ini dapat diselesaikan, kabinet inipun harus meletakkan jabatan. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah makin tidak percaya kepada pemerintah pusat. Di samping itu terjadi “peristiwa 17 Oktober 1952”, yaitu desakan dari pihak-pihak tertentu agar Presiden segera membubarkan Parlemen yang tidak mencerminkan keinginan rakyat.


Peristiwa 17 Oktober 1952 dimanfaatkan oleh TNI-AD untuk kepentingan politiknya. Golongan yang dipimpin Kol. Bambang Sugeng itu tidak menyetujui Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD. Sekelompok partai dalam parlemen menyokong dan menuntut agar diadakan perombakan pimpinan Kementerian Pertahanan dan TNI.


Keterlibatan partai dianggap oleh pimpinan TNI sebagai campur tangan sipil dalam urusan tentara. Oleh karena itu mereka menuntut agar Presiden membubarkan Parlemen. Presiden menolak tuntutan ini sehingga KASAD maupun KSAP meletakkan jabatan. Mandat pembentukan kabinet tetap diserahkan kepada PNI. Dalam suasana konflik politik itu, Ali Sastroamidjojo terpilih untuk memimpin kabinet.


Tugas Kabinet Ali Sastroamidjojo adalah melanjutkan program kabinet Wilopo, yaitu antara lain melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih DPR dan Konstituante.


Meskipun Kabinet Ali Sastroamidjojo berhasil dalam politik luar negeri yaitu, dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung dalam bulan April 1955, namun Kabinet Ali Sastroamidjojo harus meletakkan jabatan sebelum dapat melaksanakan tugas utamanya yaitu pemilu, alasannya karena pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat Menteri Pertahanan. Hal ini sebenarnya yang berpangkal pada peristiwa 17 Oktober 1952. Calon pimpinan TNI yang diajukan Kabinet ini ditolak oleh Korps perwira sehingga menimbulkan krisis kabinet.


Pada saat itu Presiden Soekarno akan berangkat ke tanah Suci Mekah. Sebelum berangkat Presiden mengangkat tiga orang untuk menjadi formatur kabinet, yaitu Sukiman (Masyumi), Wilopo (PNI), dan Asaat (non partai). Namun ketiga orang ini tidak berhasil membentuk kabinet hingga terpaksa mengembalikan mandatnya pada Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap dari Masyumi untuk membentuk kabinet.


Kabinet Burhanudin (1955-1956), ditugaskan untuk melaksanakan pemilihan umum. Usaha ini berhasil sekalipun mengalami kendala-kendala yang berat. Pada tanggal 29 September 1955 pemilihan anggota-anggota parlemem dilakukan, dan pada tanggal 15 Desember 1955 diadakan pemilihan umum untuk Konstituante. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.


Selain masalah pemilihan umum Kabinet Burhanuddin juga berhasil menyelesaikan masalah TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kol. A.H. Nasution sebagai KASAD pada bulan Oktober 1955. Selain itu dalam politik luar negeri kabinet ini condong ke barat dan berusaha mengadakan perundingan dengan Belanda mengenai soal Irian Barat.


Hasil pemilihan umum 1955 menunjukkan PNI adalah partai yang terkuat. Oleh sebab itu presiden mengangkat seorang formatur kabinet dari PNI yaitu Ali Sastoramidjojo. Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957) adalah kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Kabinet ini mempunyai rencana kerja untuk lima tahun. Rencana kerja ini disebut rencana lima tahun. Isinya antara lain adalah perjuangan untuk mengembalikan Irian Barat dalam wilayah RI. Otonomi daerah, mengusulkan perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan, dan pembentukan Dewan Ekonomi Nasional.


Sementara program berjalan timbul masalah-masalah baru. Pertama kegagalan dalam memaksa pihak Belanda agar menyerahkan Irian Barat dan pembatalan perjanjian KMB. Kedua, berkembangnya masalah anti Cina di kalangan rakyat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota. Ketiga di beberapa daerah timbul perasaan tidak puas terhadap pemerintah pusat. Hal ini menimbulkan terjadinya pergolakan di beberapa daerah.


Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara membentuk Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.


Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan negara di seluruh Indonesia. Tetapi usaha Presiden untuk mempengaruhi partai-partai agar mau membentuk kabinet baru ternyata gagal. Sebab itu ia mengangkat Ir. Djuanda yang tidak berpartai sebagai formatur kabinet.


Kabinet Djuanda (1957-1959) bertugas menyelesaikan kemelut dalam negeri, selain memperjuangkan kembalinya Irian Barat dan menjalankan pembangunan. Pertama-tama kabinet ini membentuk suatu Dewan Nasional yang bertugas memberi nasehat kepada pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya. Di samping itu, diadakan musyawarah nasional untuk mencari jalan keluar dari kemelut nasional. Sebelum musyawarah itu menghasilkan keputusan terjadi “Peristiwa Cikini”, yaitu percobaan pembunuhan Presiden.


Pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara semakin mengkhawatirkan.

3. Kondisi Ekonomi Pada Masa Liberal


Sesudah Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949, KMB membebankan pada Indonesia hutang luar negeri sebesar Rp 2.800 juta. Sementara ekspor masih tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan saja.


Masalah jangka pendek yang harus diselesaikan oleh pemerintah adalah : (a) mengurangi jumlah uang yang beredar dan (b) mengatasi kenaikan biaya hidup. Sedangkan masalah jangka panjang adalah pertambahan penduduk dan tingkat hidup yang rendah. Dari sisi moneter difisit pemerintah sebagian berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah pada 20 Maret 1950. Jumlah itu didapat dari pinjaman wajib sebesar Rp 1,6 milyar. Kemudian dengan kesepakatan Sidang Menteri Uni Indonesia-Belanda, diperoleh kredit sebesar Rp 200.000.000,00 dari negeri Belanda. Pada 13 Maret 1950 di bidang perdagangan diusahakan untuk memajukan ekspor dengan sistem sertifikat devisa. Tujuan pemerintah adalah untuk merangsang ekspor. Keadaan sedikit membaik tahun 1950. Ekspor Indonesia menjadi 187% pada bulan April 1950, 243% pada bulan Mei atau sejumlah $ 115 juta.


Selain itu diupayakan mencari kredit dari luar negeri terutama untuk pembangunan prasarana ekonomi. Menteri Kemakmuran Ir. Djuanda berhasil mendapatkan kredit dari Exim Bank of Washington sejumlah $ 100.000.000. Dari jumlah tersebut direalisasi sejumlah $ 52.245.000. Jumlah ini untuk membangun proyek-proyek pengangkutan automotif, pembangunan jalan, telekomunikasi, pelabuhan, kereta api, dan perhubungan udara. Namun demikian sejak 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang lagi, karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia dengan ekonomi agrarianya memang tidak memiliki barang-barang ekspor lain kecuali hasil perkebunan.


Upaya perbaikan ekonomi secara intensif diawali dengan Rencana Urgensi Perekonomian (1951) yang disusun Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo di masa Kabinet Natsir. Sasaran utamanya adalah industrialisasi. Setahun kemudian, pada zaman Kabinet Sukiman, pemerintah membentuk Biro Perancang Negara yang berturut-turut dipimpin oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, Ir. Djuanda, dan Mr. Ali Budiardjo. Pada tahun 1956 badan ini menghasilkan suatu Rencana Pembangunan Lima Tahun (1956-1960) dan untuk melaksanakannya, Ir. Djuanda diangkat sebagai Menteri Perancang Nasional. Pembiayaan RPLT ini diperkirakan berjumlah Rp 12,5 milyar, didasarkan harapan bahwa harga barang dan upah buruh tidak berubah selama lima tahun. Ternyata harga ekspor bahan mentah Indonesia merosot. Hal ini mendorong pemerintah untuk melaksanakan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia pada bulan Desember 1957.


Sementara itu, ketegangan politik yang timbul akibat pergolakan daerah ternyata tidak dapat diredakan dan untuk menanggulanginya diperlukan biaya yang besar, sehingga mengakibatkan meningkatnya defisit. Padahal ekspor justru sedang menurun. Situasi yang memburuk ini berlangsung terus sampai tahun 1959.


Dalam bidang ekonomi satu fenomena moneter yang paling terkenal pada periode ini adalah pemotongan mata uang rupiah menjadi dua bagian. Penggunti-ngan uang ini terkenal dengan sebutan “gunting Syafrudin”. Tujuan dari penggun-tingan uang ini adalah untuk menyedot jumlah uang beredar yang terlalu banyak, menghimpun dana pembangunan dan untuk menekan defisit anggaran belanja.


4. Upaya Membangun Pengusaha Nasional


Sejak awal kemerdekaan telah ditempuh upaya untuk membangkitkan suatu golongan pengusaha nasional yang tangguh. Pemikiran ke arah itu dipelopori oleh Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia harus selekas mungkin memiliki suatu golongan pengusaha. Para pengusaha bangsa Indonesia yang pada umumnya bermodal lemah, perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam membangun ekonomi nasional. Pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha itu, terutama pendidikan konkret atau dengan bantuan pemberian kredit. Apabila usaha ini berhasil, secara bertahap pengusaha bangsa Indonesia akan bangkit sehingga struktur ekonomi kolonial berangsur-angsur akan berubah.


Gagasan Soemitro itu dilaksanakan oleh Kabinet Natsir (September 1950 – April 1951) ketika ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Program ini terkenal dengan sebutan Program Benteng (Gerakan Benteng/Benteng Group) yang dimulai pada bulan April 1950. Selama tiga tahun (1950-1953) kurang lebih 700 perusahaan bangsa Indonesia telah mendapat kredit bantuan dari Program Benteng Ini.


Langkah-langkah lain dalam menumbuhkan dunia usaha nasional antara lain adalah mewajibkan perusahaan-perusahaan asing untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar mereka dapat menduduki jabatan-jabatan staf, mendirikan perusahaan-perusahaan negara, menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional, dan memberikan perlindungan pada perusahaan-perusahaan itu agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.


5. Dekrit Presiden 5 Juli 1959


Di dalam sidang konstituante menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 kembali menjadi Undang-undang Republik Indonesia yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa konstituante dianggap tidak mampu bekerja lagi. Krisis politik pun semakin merajalela dan partai-partai tidak dapat mengatasinya sehingga negara benar-benar dalam keadaan gawat.


Untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, dicapailah kesepakatan antara presiden, kabinet, dewan nasional, wakil-wakil partai, dan pimpinan TNI untuk kembali ke UUD 1945. Ini adalah jalan yang terbaik untuk mengatasi krisis nasional. Akhirnya Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 juli 1959 yang isinya sebagai berikut :


a. Pembubaran Konstituante


b. Berlakunya kembali UUD 1945


c. Tidak berlakunya UUDS 1950


Dekrit Presiden itu juga menetapkan pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Permusyawaratan Rakyat Sementara (DPRS), Dewan Perancang Nasional (Deparnas). Dekrit yang kemudian dikenal dengan nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini mengawali masa demokras terpimpin dalam pemerintahan Republik Indonesia.


BAB. VI
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN 1959 – 1965

Pada masa ini, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit yang dinamakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dikeluarkannya dekrit tersebut disebabkan karena ketidakmampuan konstituante untuk menyusun Undang-Undang Dasar yang baru bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Namun demikian di dalam praktik ketatanegaraannya dalam sistem Demokrasi Terpimpin ini tidak dilaksanakan secara konsekuen, bahkan justru sebaliknya, karena di dalam praktiknya sangat jauh dan menyimpang dari arti yang sebenarnya, realisasinya justru yang memimpin demokrasi ini bukan Pancasila tetapi dipimpin oleh Presiden Soekarno. Akibatnya demokrasi yang dijalankan tidak lagi berdasarkan keinginan luhur bangsa Indonesia dengan menggunakan Pancasila sebagai pedomannya, akan tetapi didasarkan kepada keinginan-keinginan atau ambisi-ambisi politik Presiden Soekarno.


Sebelum mempelajari kegiatan belajar berikutnya peserta didik diharapkan mempelajari demokrasi terpimpin.

1. Kondisi Politik Masa Demokrasi Terpimpin

Demokrasi Terpimpin adalah suatu paham yang tidak didasarkan atas paham liberalisme, sosialisme, nasionalisme, fasisme dan komunis, akan tetapi suatu paham demokrasi yang didasarkan kepada keinginan-keinginan luhur bangsa Indonesia seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang menuju pada suatu tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur yang penuh dengan kebahagiaan material dan spiritual sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agusturs 1945.


Dengan dikeluarkannya “Dekrit Presiden”, Kabinet Karya dibubarkan dan diganti dengan Kabinet Kerja yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Presiden sekaligus bertindak sebagai perdana menteri, sedang Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri pertama. Program pokok kabinet meliputi penyelesaian masalah keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat dan masalah sandang pangan. Pada periode ini Presiden Soekarno hampir memegang seluruh kekuasaan. Presiden menciptakan sistem politik yang dinamakan Demokrasi Terpimpin. Presiden kemudian mengeluarkan Penetapan No. 7 Tahun 1959 untuk mengatur kehidupan partai politik di Indonesia, yang antara lain menyebut bahwa hanya partai-partai yang dapat menerima Pancasila yang akan diberi hak hidup. Partai Masyumi dan PSI dibubarkan karena ada tokoh-tokohnya yang dianggap terlibat PRRI/Permesta. Lembaga-lembaga tertinggi negara diubah oleh Presiden. DPR dan MPR dibentuk tanpa melalui pemilu dengan nama DPR Gotong Royong dan MPR Sementara. Selain itu dibentuk pula lembaga-lembaga inkonstitusional seperti Front Nasional yang bertujuan memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945 serta Depernas (Dewan Perancang Nasional) yang bertugas merancang pembangunan nasional.


Dalam masa Demokrasi Terpimpin ada kekuatan politik waktu itu terpusat di tangan Presiden Soekarno dengan TNI-AD dan PKI disampingnya. TNI sejak keberhasilannya dalam menumpas pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 1958 muncul dalam arena politik. Pimpinan TNI mendukung sepenuhnya diberlakukannya kembali UUD 1945. TNI Angkatan Darat selalu berusaha agar Demokrasi Terpimpin tidak berubah menjadi kediktatoran. Wadah organisasi TNI AD adalah Golongan Karya. Sedangkan PKI yang sejak tahun 1952 bangkit kembali setelah ditumpas dalam pemberontakan Madiun (1948), dengan menerima Pen Pres No. 7/1959 partai ini mendapat tempat dalam tatanan politik. Kemudian dengan menyokong gagasan NASAKOM (Nasionalisme – Agama – Komunisme) dari Presiden, PKI dapat memperkuat kedudukannya dan berusaha menyaingi TNI.


Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato itu merupakan penjelasan dan pertanggungjawaban atas Dekrit 5 Juli 1959 serta kebijaksanaan Presiden dalam mencanangkan sistem Demokrasi Terpimpin. DPA mengusulkan agar pidato Presiden tersebut dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan dinamakan Manipol (Manifesto Politik). Usul tersebut kemudian diterima oleh MPRS. Landasan Manipol adalah ajaran-ajaran Bung Karno sejak tahun 1927 yang dikembangkan menjadi satu kekuatan politik dan disebut Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Ajaran ini mengukuhkan presiden sebagai penguasa tunggal. “Politik adalah Panglima” merupakan semboyan pada waktu itu. Segala hal dalam kehidupan bernegara diarahkan untuk kepentingan politik belaka. Ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesenian harus diletakkan di atas kepentingan politik. Arah politiknya adalah sosialisme. Keadaan ini menguntungkan PKI karena sejak semula tujuan perjuangan politiknya adalah menggalang persatuan nasional di bawah kekuatan komunis.

Politik pemerintah zaman Demokrasi Terpimpin memang sangat menguntungkan PKI. Azas “Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif” pun diganti dengan doktrin politik baru yang mempertentangkan New Emerging Forces (Nefos) dan The Old Established Forces (Oldefos). Nefos pertama adalah negara-negara Asia dan Afrika yang anti barat, dan Oldefos adalah negara-negara barat dan antek-anteknya yang merupakan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imprealisme). Asas politik baru ini dapat digunakan dengan baik oleh PKI karena tidak berbeda jauh dengan pandangan komunisme.


Satu program Kabinet Kerja yang pada hakekatnya merupakan tuntutan nasional adalah masalah Irian Barat. Wilayah ini merupakan bagian dari Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945, tetapi Belanda belum bersedia menyerahkan bahkan berlarut-larut sampai tahun 1962. Mula-mula Indonesia mencoba memperjuangkan kembalinya wilayah itu melalui PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif. Pada tahun 1961, Pemerintah RI mengambil sikap tegas yaitu merencanakan penyerbuan ke Irian Barat. Rencana ini dinamakan Tri Komando Rakyat atau Trikora. Dalam rangka mencari bantuan untuk operasi militer ke Irian Barat itulah Pemerintah RI mendekati Uni soviet. Langkah ini ditempuh setelah negara-negara barat (terutama Amerika Serikat) tidak bersedia memberikan dukungan. Dalam rangka membebaskan Irian Barat inilah pada tahun 1962 dibentuk Komando Mandala di bawah pimpinan Kolonel Soeharto.


Dengan dibentuknya Operasi Mandala, maka suasana perang semakin dekat. Amerika Serikat kemudian mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan. Amerika Serikat khawatir situasi itu dapat digunakan Uni soviet menanamkan kekuasaannya di wilayah Pasifik, yang akan merugikan pihak Barat dalam “Perang Dingin”. Usaha ini berhasil dan pada tanggal 15 Agustus 1962 pihak Belanda dan Indonesia menandatangani Perjanjian New York. Duta Besar AS untuk PBB Ellsworth Bunker menjembatani pertikaian ini. Bunker mengusulkan agar Irian Barat diserahkan kepada Indonesia melalui PBB dalam waktu dua tahun. Dalam masa peralihan itu Irian Barat dipegang oleh suatu badan PBB, UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Badan ini menyerahkan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963.


Dukungan Uni Sovyet dalam merebut Irian Barat memberikan jalan bagi PKI untuk mempengaruhi kebijakan politik Bung Karno. Hal itu memungkinkan PKI mendapat nama yang terhormat dan menghapus tindakan pemberontakannya melalui peristiwa Madiun.


Masalah Malaysia pun merupakan isu yang menguntungkan PKI untuk mendapat tempat dalam kalangan pimpinan negara. Masalah ini muncul ketika Tengku Abdulrakhman mengusulkan pada pemerintah Inggris untuk membentuk federasi antara daerah-daerah jajahan Inggris di Asia Tenggara. Federasi tersebut Federasi Malaysia yang meliputi daerah-daerah Malaya, Singapura, Serawak, Brunei dan Sabah. Indonesia dengan tegas menolak pembentukan federasi tersebut. Pemerintah Indonesia waktu itu menganggap bahwa federasi itu proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia. PKI yang sangat berpengaruh waktu itu berusaha mendorong Indonesia ke arah melakukan Konfrontasi.


Filipina juga merasa dirugikan dengan pembentukan federasi tersebut. Karena itu masalah federasi menjadi masalah internasional dan menimbulkan ketegangan di Asia Tenggara. Untuk menghindari terjadi perang di Asia Tenggara, kemudian diusahakan penyelesaian melalui perundingan. Setelah itu kemudian dilakukan perundingan-perungdingan baik di Tokyo maupun di Manila. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi di Manila 7 Juni 1963, wakil Indonesia dan Filipina menyatakan bahwa tidak berkeberatan atas pembentukan federasi tersebut asal memang dikehendaki oleh rakyat Kalimantan Utara. Dan untuk mengetahui kehendak rakyat Kalimantan Utara tersebut harus dilakukan oleh PBB. Untuk itu kemudian dibentuk tim untuk melaksanakan Referendum. Namun sebelum tim ini selesai menjalankan tugas Tengku Abdulrakhman dan Inggris telah mengumumkan berdirinya Federasi Malaysia pada tanggal 16 September 1963. Indonesia mengajukan protes, karena menganggap Tengku Abdulrakhman melanggar Konferensi Tingkat Tinggi di Manila. Dalam konferensi tersebut Tengku Abdulrakhman menjanjikan untuk menangguhkan Proklamasi Federasi Malaysia sampai Tim PBB menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia tidak bersedia mengakui Federasi Malaysia dan membuka tahap baru dalam konfrontasinya terhadap Malaysia. Kemudian pada tanggal 3 Mei 1964 Presiden Soekarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk menggagalkan dan menghancurkan Federasi Malaysia.

2. Kondisi Ekonomi Pada Masa Terpimpin

Dekrit Presiden yang dikeluarkan 5 Juli 1959 juga membawa perubahan dalam bidang ekonomi. Presiden kemudian mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) yang antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan ekonomi harus dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah dalam ekonomi terutama nampak dalam kebijaksanaan moneternya.


Untuk membendung inflasi Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1959 yang mulai berlaku 25 Agustus 1959. Peraturan itu dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar. Untuk itu nilai uang kertas pecahan Rp 500,00 dan Rp 1.000,00 diturunkan nilainya masing-masing menjadi Rp 50,00 dan Rp 100,00. Di samping itu juga dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1959 tentang pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi banyaknya uang yang beredar, terutama dalam tahun 1957 dan 1958.


Sementara perdagangan ekspor-impor dan perdagangan dalam negeri juga mengalami kemerosotan sehingga penghasilan negara juga merosot. Dengan demikian defisit anggaran belanja menjadi meningkat, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat ditutup dengan pinjaman-pinjaman dari luar negeri. Hal-hal itu menyebabkan makin bertambahnya percetakan uang kertas.


Sebagai tindak lanjut pengeluaran uang baru pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959. Isi peraturan tersebut bahwa bagian lembaran uang lama Rp 1.000,00 dan Rp 500,00 harus segera ditukar dengan uang kertas bank baru sebelum 1 Januari 1960. Untuk itu kemudian dibentuk Panitia Penampung Operasi Keuangan (PPOK). Tugas pokok panitia ini ialah menyelenggarakan tindak lanjut tindakan moneter tersebut. Tindakan moneter ini dimaksudkan untuk mengindahkan inflasi dan mencapai keseimbangan serta kemantapan moneter. Hal itu diusahakan dengan menyalurkan uang dan kredit baru ke bidang usaha-usaha yang dipandang penting bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Tetapi tindakan pemerintah ini ternyata mengalami kegagalan. Volume uang yang beredar dari waktu ke waktu semakin meningkat. Apalagi pemerintah kembali melakukan kebijakan moneter yaitu mengeluarkan uang rupiah baru yang nilainya ditetapkan sebesar 1000 kali uang rupiah lama. Jumlah uang yang beredar semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada akhir 1966.


Hal itu diperparah lagi dengan tidak adanya kemauan pemerintah untuk menahan diri dalam pengeluaran-pengeluarannya. Hal itu dapat dilihat dari adanya proyek-proyek mercusuar seperti Ganefo dan Conefo (Games of the New Emerging Force dan Conference of the New Emerging Forces).


Adanya proyek-proyek tersebut memaksa pemerintah mengeluarkan dana semakin besar. Akibatnya inflasi semakin meningkat dan harga-harga semakin membubung. Tingkat kenaikan harga-harga paling tinggi terjadi dalam tahun 1965 (antara 200% - 300% dari harga tahun 1964) selaras dengan tingkat kenaikan peredaran yang paling tinggi dalam tahun 1965, karena ekspor merana, impor pun harus dibatasi sesuai kekuatan devisa.


Sejak tahun 1961 pemerintah secara terus-menerus membiayai kekurangan neraca pembayarannya dari cadangan emas dan devisa. Pada akhir tahun 1965, untuk pertama kali dalam sejarah moneternya, Indonesia kehabisan cadangan emas dan devisanya, yang memperlihatkan saldo negatif sebesar US$ 3 juta. Hal ini terjadi terutama karena politik konfrontasi dengan Malaysia.


Di samping itu dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin Presiden Soekarno menganggap perlu mengintegrasikan semua bank ke dalam suatu organisasi Bank Tunggal Milik Negara. Tugas bank tersebut adalah menjalankan aktivitas-aktivitas bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Sebagai langkah pertama untuk menuju Bank Tunggal Milik Negara itu terlebih dahulu diadakan integrasi bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Sesudah proses pengintegrasian itu selesai, barulah dibentuk Bank Tunggal Milik Negara yang dibagi dalam beberapa unit, masing-masing unit menjalankan pekerjaannya menurut aturan-aturan pendiriannya. Keadaan demikian itu berlangsung terus sampai bank tunggal itu dibubarkan pada tahun 1968 (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968).


Yang menarik dari Bank Tunggal Milik Negara itu ialah bahwa pengintegrasian bank-bank negara dalam bentuk tunggal diatur melalui penetapan Presiden, sedangkan bank-bank yang bersangkutan, sebelum diintegrasikan dibentuk atau didirikan atas dasar undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.


Pada tahun 1964 Presiden Soekarno mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 081 dan Keputusan Presiden Nomor 360 Tahun 1964 yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai penghimpunan dan penggunaan dana-dana revolusi. Dana-dana revolusi tersebut pada mulanya diperoleh dari pungutan uang call SPP dan dari pungutan yang dikenakan pada pemberian izin impor dengan deferred payment. Impor dengan kredit ini dilakukan karena persediaan devisa sangat minus. Pada waktu itu memang persediaan devisa menipis sekali.


Dalam praktek barang-barang yang diimpor dengan menggunakan deferred payment itu adalah barang-barang yang tidak bermanfaat bagi rakyat banyak, bahkan sebaliknya merupakan barang-barang yang sudah dijadikan spekulasi dalam perdagangan misalnya scooter dan barang-barang luks lainnya. Jumlah izin impor dengan deferred payment khusus ini kira-kira US$ 270 juta. Untuk setiap satu dolar Amerika yang diimpor dengan deferred payment itu orang harus menyetor antara Rp 250 sampai Rp 1.000,00 (uang lama) untuk Dana Revolusi di samping kadang-kadang harus juga membayar dengan valuta asing dalam jumlah tertentu.


Karena kebijaksanaan kredit luar negeri itu hutang-hutang negara semakin menumpuk sedangkan ekspor semakin menurun dan devisa makin menipis. Hutang luar negeri dibayar dengan kredit baru atau ditangguhkan. Republik Indonesia tidak mampu membayar tagihan-tagihan dari luar negeri, sehingga terjadi insolvensi internasional, sebab itu beberapa negara menghentikan impornya ke Indonesia karena hutang-hutang tidak dibayar. Di dalam negeri berakibat mengganggu, menghambat atau mengacaukan produksi, distribusi dan perdagangan, serta menimbulkan kegelisahan di kalangan penduduk.


3. Peristiwa Gerakan 30 September/PKI


Dalam periode demokrasi terpimpin PKI memperoleh kesempatan untuk membangun dan mengembangkan kekuatan politiknya. Terbukanya kesempatan itu sebenarnya tidak lepas dari sikap Presiden Soekarno yang beranggapan masih dapat mengendalikan PKI. Namun ternyata PKI mempunyai tujuan lain.


PKI pun membuat persiapan-persiapan untuk mewujudkan tujuan partainya. Suatu bagian yang sangat dirahasiakan yang dikenal dengan nama “Biro Khusus” dibentuk oleh Aidit. Biro ini dimaksudkan untuk “membina anggota ABRI”. Dengan demikian diharapkan akan ada satu kelompok ABRI yang memihak pada PKI. Pengikut-pengikut PKI dalam ABRI ini disebut “Perwira-perwira Progresif”. PKI juga membentuk pasukan sendiri melalui pasukan sukarelawan yang dilatih dalam rangka “Ganyang Malaysia”. Gerakan sukarelawan itu dilatih secara khusus dengan bantuan Peking. Sejak awal tahun 1965, Peking menganjurkan pada pemerintah RI agar pasukan-pasukan sukarelawan dijadikan “Angkatan Kelima” dalam ABRI. Hal ini jelas tidak dapat diterima oleh TNI. Sementara itu usaha-usaha mempersenjatai para sukarelawan diteruskan antara lain melalui Soebandrio dan Marsekal Omar Dhani (Menteri Luar Negeri dan KSAU) pada masa itu.


Mulai bulan Juli atau akhir Juni 1965, PKI menyusun rencana untuk menghancurkan pimpinan TNI AD yang menghalanginya dalam segala bidang. Pelaksanaan rencana itu dikaitkan dengan kondisi kesehatan Presiden. Pada bulan Agustus, Soekarno terkena serangan flue yang gawat sekali. Berbagai macam dugaan muncul berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Saat itulah PKI menyusun rancana untuk menggantikan pimpinan TNI AD dengan “Perwira-perwira Progresif” agar penghalang rencana PKI untuk menjadi “ahli waris Bung Karno” tidak mendapat halangan lagi.


Dalam rangka rencana itu PKI menyebarkan desas-desus bahwa pimpinan TNI AD yang tergabung dalam “Dewan Jenderal” dan bekerjasama dengan CIA akan mengadakan coup d’etat pada saat Soekarno jatuh sakit. Di balik desas desus ini kaum komunis telah menyiapkan coup d’etat mereka sendiri. Kesempatan mereka tiba menjelang perayaan ulang tahun ABRI. Pada saat itulah “Perwira-perwira Progresif” berhasil memasukkan pasukannya ke Jakarta dalam rangka parade ulang tahun ABRI tanggal 5 Oktober. Sebelum saat perayaan tiba mereka telah melancarkan operasi militer yang mereka namakan Gerakan 30 September.


Pada malam yang naas itu 6 orang Jenderal Pimpinan TNI AD dibunuh secara kejam, tetapi Jenderal A.H. Nasution dapat meloloskan diri. Komandan Kostrad Jenderal Soeharto kemudian mengambil alih pimpinan AD dan bertindak cepat untuk menguasai keadaan. Operasi militer dilancarkan mulai tanggal 1 Oktober 1965. Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi berhasil direbut. Pada hari itu juga Kota Jakarta telah dapat dikuasai kembali. Selanjutnya setelah diketahui bahwa basis utama G 30 S/PKI berada di sekitar Lanuma Halim Perdanakusuma, maka mulailah dilakukan persiapan-persiapan untuk membebaskan Halim. Kekuatan PKI pun hancur berantakan.


Menghadapi situasi yang terdesak dan karena tidak adanya dukungan ABRI dan masyarakat pemimpin PKI DN Aidit meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dan kemudian selalu berpindah-pindah tempat. Namun ABRI dengan bantuan masyarakat terus berusaha menghancurkan kekuatan G 30 S/PKI juga di berbagai tempat di seluruh pelosok tanah air. Aidit kemudian ditangkap di Manisrenggo Solo dan kemudian dihabisi di daerah Ungaran. Situasi Jawa Tengah saat itu tidak memungkinkan untuk membawa Aidit ke Jakarta.


BAB. VII
MASA ORDE BARU

Orde Baru adalah tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa dan negara Indonesia yang diletakkan kembali pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.


Kelahiran Orde Baru ini tidak dapat dipisahkan dari peristiwa G 30 S/PKI dan dikeluarkannya Supersemar 1966. Terbitnya Supersemar merupakan sarana bagi upaya penyelesaian kemelut politik yang menimpa bangsa Indonesia sebagai akibat pemberontakan G 30 S/PKI.

1. Lahirnya Orde Baru


Gerakan 30 September 1965 untuk sementara memang berhasil membingungkan masyarakat. Namun dengan cepat pemerintah dapat menguasai keadaan. Setelah itu dilakukan upaya pembersihan terhadap oknum-oknum yang terlibat G 30 S/PKI, demikian juga di daerah-daerah. Partai-partai dan organisasi masa yang tergabung dalam Front Pancasila, KAMI, KAPI dan KAPPI bergerak untuk mengadakan aksi pembersihan terhadap semua oknum yang terlibat G 30 S PKI.


Sampai awal Desember operasi militer terhadap pemberontakan dapat dikatakan sudah berakhir tetapi penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut belum ada tanda-tanda dilaksanakan. Sehingga terjadi krisis politik. Demikian juga bidang ekonomi, keadaannya semakin parah. Kesejahteraannya jauh merosot, antara lain karena laju inflasi yang mencapai 650%. Hal itu semakin parah dengan adanya devaluasi nilai rupiah, kenaikan tarif dan jasa serta kenaikan harga BBM pada 3 Januari 1966.


Masyarakat dengan dipelopori kesatuan-kesatuan aksi meminta agar kenaikan harga ditinjau kembali. Permintaan itu tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Demikian juga dalam menyelesaikan kemelut politik tidak mencerminkan upaya untuk mengatasi gejolak yang timbul. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi-demonstrasi. Pada tanggal 10 Januari 1966 masyarakat dengan dipelopori KAMI dan KAPI menyampaikan tiga tuntutan rakyat (TRITURA) kepada pemerintah yaitu:


a. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.


b. Pembersihan kabinet Dwikora, dengan sasaran jangka panjang berupa pemerintahan yang efisien, kompak, dan efektif.


c. Penurunan harga bahan-bahan kebutuhan pokok, dengan konsekuensi jangka panjang rehabilitasi dan stabilisasi ekonomi.


Meskipun Tritura sudah diajukan, namun tidak ada tanggapan dari DPR Gotong Royong dan MPRS. Partai Komunis Indonesia dan simpatisannya masih bertahan di kabinet. Itulah sebabnya kesatuan aksi makin marah dan terjadilah demonstrasi secara besar-besaran untuk menyampaikan amanat penderitaan rakyat. Demonstrasi yang membawakan suara hati nurani rakyat ini juga disebut “DPR Jalanan”.


Demonstrasi jalanan ini merupakan wujud gerakan anti pemerintah. Akan tetapi pemerintah bertahan pada pendiriannya, bahkan membubarkan Kabinet Dwikora dan membentuk kabinet baru. Namun Kabinet yang baru dibentuk, yang merupakan “penyempurnaan” kabinet lama, justru diisi oleh orang-orang PKI. Kabinet Dwikora yang disempurnakan inilah yang terkenal dengan nama “ Kabinet Seratus Menteri”.


Demonstrasi yang dipimpin oleh KAMI dan KAPPI kemudian berhadapan dengan pasukan pemerintah. Para demonstan terus mendesak sampai ke Istana Merdeka. Pasukan pemerintah yang terdesak berusaha menahan para demonstran dengan tembakan. Dalam peristiwa itu seorang mahasiswa UI yaitu Arif Rakhman Hakim tertembak dan gugur sebagai pahlawan Ampera. Suasana di Ibukota semakin tegang. Hampir setiap hari terjadi demonstrasi untuk mewujudkan Tritura.


Untuk mengantisipasi situasi yang semakin kacau itu maka pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden Soekarno mengadakan sidang Kabinet di Istana Negara. Tujuan sidang ini adalah untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.Sidangini dijaga sangat ketat oleh pasukan kawal istana. Selain itu ternyata di sekeliling istana terlihat ada sekelompok “pasukan liar” yang tidak menggunakan identitas lengkap dari kesatuannya. Para peserta sidang khawatir bila “pasukan liar” ini akan memperkeruh suasana.


Sementara sidang berlangsung, Presiden Soekarno menerima laporan tentang adanya pasukan tak dikenal di sekitar istana. Untuk menghindari segala kemungkinan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II, Dokter Leimena. Presiden kemudian meninggalkan istana menuju Bogor dengan helikopter. Beliau diikuti oleh Waperdam I, Dr. Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh. Waperdam II Dokter Leimena kemudian membubarkan sidang dan menyusul ke Bogor.


Tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Makhmud menghadap Letnan Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad. Setelah membahas masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, maka pada tanggal 11 Maret itu juga tiga orang perwira tinggi tersebut pergi menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ketiga perwira tinggi itu diterima oleh Presiden Soekarno, yang didampingi oleh Waperdam I, II, dan III. Mereka melaporkan kepada Presiden tentang suasana di Jakarta dan kesiapan ABRI untuk mengatasi suasana jika terjadi sesuatu. Namun usaha ini hanya akan berhasil jika presiden memberikan kekuasaan penuh kepada seseorang yang diberi tugas untuk mengatasi situasi.


Adanya laporan tiga perwira di atas, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto yang menjabat sebagai pimpinan Kostrad. Surat Perintah inilah yang dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar). Supersemar ini antara lain berisi instruksi agar Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, ketertiban, dan kestabilan jalannya pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.


Letnan Jenderal Soeharto selaku pengemban Supersemar segera mengambil kebijaksanaan dan langkah tegas terhadap perkembangan politik yang tidak menentu. Satu demi satu Tritura dipenuhi. Yang pertama dilakukan ialah pembubaran PKI serta ormas-ormasnya pada tanggal 12 Maret 1966. Kedua adalah pengamanan 15 orang menteri yang berindikasi terlibat G 30 S/PKI atau diragukan i’tikad baiknya dalam memulihkan keamanan. Pengamanan menteri-menteri terjadi pada tanggal 18 Maret 1966. Tritura yang kedua dapat dipenuhi oleh Letnan Jenderal Soeharto. Unsur-unsur dan pengaruh PKI dibersihkan, Anggota PKI dan yang berindikasi terlibat PKI diberhentikan keanggotaannya dari DPRGR dan MPRS. Jawatan dan kantor-kantor juga dibersihkan dari aparatur yang kena pengaruh komunis.


Pemerintah kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengembalikan penyimpangan-penyimpangan dari UUD 1945 dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam Sidang Umum IV MPRS tanggal 20 Juni - 5 Juli 1966, dihasilkan ketetapan-ketetapan politik sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pemerintahan ini berlangsung sejak berlakunya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, yang menggantikan pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno (1945-1966). Pemerintahan Orde Baru ditandai oleh pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru mempunyai dua landasan, yaitu landasan falsafah dan ideologi Pancasila, dan landasan konstitusional berupa UUD 1945.


Lahirnya Orde Baru berarti dimulainya lembaran baru dalam sejarah Indonesia. Baik lembaran yang berisi tatanan peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara, maupun lembaran yang berisi pembangunan moral dan fisik menuju masyarakat adil dan makmur, dilandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.


2. Stabilisasi dan Rehabilitasi


Tuntutan Tritura yang ketiga yaitu perbaikan dan stabilitas ekonomi hanya dapat dilakukan dengan pembangunan di segala bidang. Akan tetapi pembangunan hanya dapat berjalan lancar jika negara berada dalam keadaan aman dan tertib. Oleh karena itu sebelum pembangunan nasional dimulai diperlukan dahulu stabilitas nasional.


Program pertama yang dilakukan adalah pembaharuan kabinet. Kabinet untuk menstabilitaskan ekonomi dan keamanan disebut Kabinet Ampera. Dalam masa Kabinet Ampera I & II (1966-1968), Departemen Keuangan mengemban tugas melaksanakan program stabilitas ekonomi dan keuangan negara yang meliputi bidang moneter termasuk didalamnya menjaga stabilitas intern dan ekstern nilai mata uang Indonesia. Untuk mengatasi situasi perekonomian dan keuangan yang sangat buruk serta dalam rangka stabilitas ekonomi, pemerintah menetapkan serangkaian kebijaksanaan, yakni:


a. Penyesuaian pengeluaran negara dengan pendapatan negara, sehinga terdapat keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan (Balance Budget) yang dituangkan dalam Undang-undang APBN No.13 Tahun 1967 tanggal 30 Desember 1967 yang juga menjadi dasar hukum pelaksanaan APBN 1968/1969.


b. Penekanan inflasi dan peningkatan nilai rupiah.


c. Penjadwalan beban pembayaran utang luar negeri warisan masa lampau yang seluruhnya berjumlah US$ 2,4 milyar dan di lain pihak juga berusaha untuk mendapat kredit baru guna membiayai belanja pembangunan.


Selain itu, dalam komperensi “rescheduling” hutang-hutang luar negeri dengan pihak kreditor, dihasilkan persetujuan:


a. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun dari tahun 1970 s.d. 1999.


b. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran dengan jumlah yang sama setiap tahun.


c. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga sedangkan pembayaran kembali bunga pinjaman dilaksanakan dalam 15 angsuran tahunan mulai 1985.


d. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip non discriminative, baik terhadap negara kreditor, maupun terhadap sifat dan tujuan kredit.


Untuk melaksanakan Keputusan Presidium Kabinet No.15/U/KEP/8/ 1966 tentang Struktur Organisasi Departemen dengan Keputusan Menteri Keuangan No.57/MEN.KEU/1967 dilakukan penyempurnaan struktur organisasi Departemen Keuangan sebagai berikut :


a. Pembentukan Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan yang merupakan pemecahan Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami tugas nasiona dan departemental.


b. Penambahan direktorat-direktorat yang pada Direktorat Jenderal Anggaran (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pajak (dari 4 menjadi 5), Direktorat Jenderal Keuangan (dari 3 menjadi 5), Direktorat Pengawasan Keuangan Negara (dari 3 menjadi 4).


c. Koordinasi langsung kantor-kantor daerah oleh Direktorat Jenderal yang bersangkutan.


Adapun unit eselon I yang ada pada Departemen Keuangan itu adalah terdiri dari Sekretariat Jenderal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara, Direktorat Jenderal Keuangan dan Inspektorat Jenderal.


Setelah memasuki Kabinet Pembangunan I, Kebijaksanaan Menteri Keuangan dalam bidang moneter, penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin diarahkan untuk meningkatkan tabungan pemerintah, serta memperbaiki neraca pembayaran. Pada masa Repelita I banyak dilaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan di bidang anggaran, perpajakan, penerimaan negara, ekspor dan devisa sehingga memberikan kemajuan perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti dengan turunnya tingkat inflasi dari 650% pada tahun 1966 menjadi 85 % pada tahun 1968.


Untuk mendukung pelaksanaan tugas, serta dalam rangka meningkatkan ketertiban dan disiplin pegawai dalam melaksanakan tugasnya, pada tanggal 30 Maret 1971 dengan Surat Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1971 ditetapkan pemberian tunjangan khusus, ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif dan sekaligus sebagai imbangan atas tindakan yang akan diambil sehingga pegawai Departemen Keuangan dapat menjalankan tugas dan jabatannya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, berprestasi kerja semaksimal mungkin dan tidak melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam bidang penerimaan dan pengeluaran negara. Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal 1 April 1971.


3. Tahap-tahap Pembangunan Nasional


Prioritas utama tahap pembangunan nasional adalah stabilitas politik. Tindakan ini dilakukan berdasarkan pengalaman sejarah pada masa Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Karena itu dalam Kabinet Pembangunan Nasional I, mula-mula yang mereka lakukan adalah menghilangkan pertentangan politik. Dualisme Kepemimpinan adalah bagian pertama yang harus segera diselesaikan. Dualisme Kepemimpinan ini berakhir pada tanggal 22 Februari 1967. Ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Letnan Jenderal Soeharto.


Namun secara resmi serah terima jabatan baru dilaksanakan setelah Sidang Umum MPRS yang berlangsung tanggal 7-12 Maret 1967.


Dalam Sidang Umum V MPRS tanggal 21-30 Maret 1968 Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai Presiden RI sampai terpilih kembali melalui Pemilihan Umum. Dengan terpilihnya Jenderal Soeharto ini kemudian dibentuk Kabinet Pembangunan.


Tugas utama Kabinet Pembangunan adalah:


1. Menciptakan Stabilitas Politik dan Ekonomi


2. Menyusun dan melaksanakan rencana Pembangunan Lima tahun Tahap pertama


3. Melaksanakan Pemilihan Umum


4. Mengikis habis sisa-sisa G 30 S/PKI


5. Membersihkan aparatur negara di pusat dan di daerah dari pengaruh PKI.


Keberhasilan stabilitas politik ditunjukkan oleh hasil penentuan pendapat rakyat (pepera) di Irian Barat pada tahun 1969. Irian Barat memilih bersatu dengan Republik Indonesia. Di samping itu pemerintah juga berhasil mengembalikan stabilitas politik luar negeri antara lain dengan :


1. Berakhirnya Konfrontasi dengan Malaysia pada tanggal 11 Agustus 1966.


2. Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September1966.


3. Pembentukan ASEAN 8 Agustus 1967.


Dalam sektor ekonomi Kebijaksanaan Pemerintah diarahkan untuk memperbaiki neraca pembayaran yang ditunjang dengan tersedianya cadangan devisa yang cukup memadai. Di samping itu terjadinya keseimbangan moneter dan anggaran pendapatan belanja negara yang berimbang dan dinamis. Untuk mencapai hal ini, maka dikeluarkan paket kebijaksanaan 1 April 1976. Sasaran pokok kebijakan ini adalah mendorong ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai sumber pendapatan negara.


Untuk meningkatkan daya saing hail-hasil produksi dalam negeri, maka pada tanggal 15 November 1978 diambil kebijaksanaan yang menurunkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing dengan 33,6% dari Rp 415,00 per US dolar menjadi Rp 615,00 per US dolar. Sedangkan untuk meningkatkan persediaan dalam negeri dilakukan peningkatan kesadaran pajak masyarakat, penyempurnaan efisiensi kerja setiap departemen.


Untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah ini dan untuk menyelesaikan perkembangan pelaksanaan tugas yang semakin kompleks,diperlukan susunan tata kerja Departemen Keuangan yang lebih sempurna. Sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 44 dan 45 tahu 1974, Menteri Keuangan dengan Surat Keputusan Nomor KEP-405/MK/6/4/1975 menetapkan pembentukan unit organisasi baru sebagai berikut :


a. Badan Pendidikan dan Latihan Keuangan (BPLK), yang dibentuk ntuk memenuhi kebutuhan pendidikan/latihan yang dirasa semakin meningkat bagi seluruh pegawai.


b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keuangan (Puslitbang Keuangan), yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pembinaan semua unit-unit penelitian dan pengembangan di lingkungan Departemen Keuangan.


c. Kantor Wilayah, yang merupakan perwakilan departemen di daerah.


Di samping itu, pada tahun 1976 kembali dilakukan perubahan-perubahan yaitu :


1. Dibentuknya Pusat Analisa Informasi Keuangan (PAIK), yang bertugas melakukan pembinaan dan pengembangan dalam pengolahan data.


2. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 52 tahun 1976, dibentuk Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan, dan bertugas mengadakan penilaian terhadap perusahaan-perusahaan yang akan menjual saham-sahamnya melalui pasar modal, menyelenggarakan bursa pasar modal yang efektif dan efisien serta terus-menerus mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan yang menjual saham-sahamnya melalui pasar modal.


3. Terbitnya Instruksi Menteri tentang Pengalihan tugas Direktorat IPEDA dari Direktorat Jenderal Moneter ke Direktorat Jenderal Pajak.


4. Pembentukan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN), serta beberapa penyempurnaan pada Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara dan BPLK.


Pada Kabinet Pembangunan III, kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah adalah dilakukannya penyempurnaan kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi yang telah dilaksanakan pada kabinet sebelumnya terutama untuk meningkatkan sumber-sumber dalam negeri guna meningkatkan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan yang semakin meningkat. Kejadian yang sangat mengganggu perekonomian bangsa Indonesia adalah turunnya harga minyak bumi secara tajam sehingga memaksa pemerintah untuk mendevaluasikan mata uang rupiah sebesar 27,8% dari Rp 700,00 per US dolar menjadi Rp 970,00 per US
dolar pada bulan Maret 1983 guna mengamankan pembangunan neraca pembayaran. Oleh karena itu, Indonesia kemudian mulai mengandalkan penerimaan dalam negeri untuk menghimpun dana selain bantuan luar negeri. Dengan memfokuskan pada peningkatan penerimaan dalam negeri, hasilnya secara nyata terlihat dengan meningkatnya jumlah penerimaan dalam negeri yang terdiri dari pajak, bea masuk dan cukai, penerimaan minyak serta penerimaan bukan pajak yang meningkat 57 kali dibanding Repelita I.


Untuk lebih memantapkan pengawasan serta guna menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pemerintah dan pembangunan, Departemen Keuangan mengadakan perubahan organisasi dan membentuk unit-unit kerja baru sejalan dengan perluasan tugas pokok dan fungsinya.


Adapun unit-unit baru tersebut adalah :


a. Direktorat Jenderal Moneter, dikembangkan menjadi Direktorat Jenderal Moneter Dalam negeri dan Direktorat Jenderal Moneter Luar Negeri.


b. BPLK, terjadi perluasan dalam struktur organisasi BPLK. Pusdiklat Kebendaharaan Umum, berganti nama menjadi Pusdiklat Anggaran dan dibentuk Pusdiklat Keuangan Umum sebagai penyelenggara diklat bagi Setjen, Ditjen Moneter Dalam dan Luar Negeri, BUPN, BAPEPAM, BPLK, PAIK serta Perjan Pegadaian. Selain itu, Pusdiklat akuntansi menjadi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Dan yang terakhir adalah dihapusnya Pusdiklat Pengawasan yang kemudian dibentuk Pusdiklat Pegawai.


c. BUPN, dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 451/KMK.01/1982 ditetapkan pembentukan, pengaturan mengenai nama, tempat kedudukan daerah wewenang cabang BUPN dan Kanwil BUPN.


d. Direktorat Jenderal Pajak, terjadi penyempurnaan organisasi dan Ditjen. Pajak yang meliputi peningkatan type kantor Inspeksi Ipeda dan pembentukan kantor dinas Ipeda Tk. I dan II.


e. Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara (DJPKN), pada tahun 1983 dilakukan pengalihan tugas dari DJPKN Departemen Keuangan kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 14 tahun 1983.


Kebijaksanaan pembangunan berlandaskan pada Trilogi Pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional yang sehat dan dinamis mulai diterapkan pada Pelita IV. Kebijaksanaan ini bertujuan meningkatkan neraca pembayaran dengan mengambil langkah-langkah efisiensi dalam penggunaan devisa untuk impor, peningkatan penanaman modal luar negeri serta pemantapan nilai tukar riil rupiah terhadap valuta asing. Untuk mendukung semua ini dilakukan deregulasi dan debirokrasi.


Namun dalam mewujudkan langkah-langkah efisiensi dan penggunaan devisa untuk impor terjadi masalah, yaitu jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 dari sekitar US$ 25 per barel pada awal tahun menjadi di bawah US$ 10 per barel pada bulan Agustus. Dampak dari keadaan ini adalah pemerintah mendevaluasikan rupiah sebesar 31,0% dari Rp 1.134,00 per US dolar menjadi Rp 1.644,00 per US dolar.


Langkah lebih lanjut deregulasi dan debirokrasi perdagangan luar negeri adalah Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang kemudian disusul dengan paket kebijaksanaan 15 Januari 1987. Hasilnya ternyata cukup menggembirakan yakni dengan naiknya penerimaan dalam negeri dengan pertumbuhan rata-rata 21,6% pada Repelita IV.


Namun, upaya penyempurnaan organisasi dan tata kerja Departemen Keuangan terus dilanjutkan. Adapun perubahan yang terjadi adalah :


1. Dengan Kepres No. 15 tahun 1984 dibentuk Pusat Pembukuan Keuangan Negara (PPKN) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri, dan sehari-hari pembinaannya dilakukan oleh Sekretaris Jenderal;


2. Dibentuk Pusat Penyusunan dan Analisa APBN berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 47 tahun 1985;


3. Dibentuk Pusat Pengelolaan dan Pembebasan Pengembalian Bea Masuk (P4BM) berdasarkan keputusan Presiden Nomor 12 tahun 1986;


4. Dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1987 dilakukan perubahan struktur organisasi Departemen Keuangan yakni, Ditjen Moneter Luar Negeri dan Ditjen Moneter Dalam Negeri digabung kembali menjadi Ditjen Moneter dan sebagian direktorat dan tugas Ditjen Moneter Luar Negeri dilimpahkan kepada Ditjen Anggaran dan Setjen;


5. Terjadi perubahan struktural pada tingkat eselon II dalam Ditjen Anggaran
dengan masuknya Direktorat Dana Luar Negeri sebagai akibat peleburan Ditjen Moneter dan peleburan Direktorat Kas Negara dengan Direktorat Perbendaharaan Negara menjadi Direktorat Perbendaharaan dan Kas Negara;


6. Dibentuknya Badan Analisa Keuangan Negara, Perkreditan, dan Neraca Pembayaran pada tahun 1988, yang kemudian disebut Badan Analisa Keuangan Negara;


7. Dibentuk Badan Pelayanan Kemudahan Ekspor dan Pengolahan Data Keuangan (BAPELTA) yang sekarang disebut BAPEKSTA berdasarkan Keputusan Presiden nomor 27 tahun 1988. Badan ini merupakan gabungan antara PAIKdan P4BM.


Dalam Kabinet Pembangunan V, prioritas utama ditujukan pada pembangunan prasarana, peningkatan kualitas sumber daya manusia, operasi pengendalian pengentasan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini, Departemen Keuangan mendapat tugas utama, yakni menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan migas maupun non migas. Hasilnya diharapkan untuk mendorong terciptanya lapangan kerja.


Untuk itu maka upaya peningkatan penerimaan bukan pajak makin digalakkan, baik melalui peningkatan efisiensi usaha dan penyempurnaan administrasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun melalui penertiban dan intensifikasi penerimaan rutin departemen/lembaga. Hasilnya, dalam tiga tahun pertama penerimaan PPN menunjukkan hasil yang cukup mengesankan. Hal ini dikarenakan adanya penyederhanaan yang telah dilakukan dalam sistem perpajakan dan perluasan dasar pengenaan pajak.


Dalam bidang moneter, serangkaian kebijaksanaan penting diambil sejak awal Repelita V adalah menyempurnakan sistem perkreditan nasional. Sistem ini menggalang kredit bagi usaha kecil. Dalam paket ini fungsi perbankan dan lembaga keuangan sebagai pengelola. Langkah-langkah yang diambil berkaitan dengan paket ini antara lain : mengurangi secara bertahap peranan kredit likuiditas untuk berbagai program dan kegiatan, menyederhanakan struktur suku bunga, dan menyempurnakan program perkreditan ke arah terjaminnya penyediaan dana usaha kecil dan kegiatan produktif koperasi, diikuti dengan paket kebijaksanaan 29 Januari 1990 (Pakjan) disusul oleh Paket Februari 1991 (Paktri) dan Paket Juni 1991.


Kemajuan yang pesat di bidang penerimaan dalam negeri, penerimaan pembangunan, pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, serta perkembangan moneter yang meliputi perkembangan jumlah uang beredar, penghimpunan dana, perkreditan, lembaga keuangan, dan ekspor diharapkan dapat memperkuat landasan ekonomi menyongsong pembangunan jangka panjang II.


Dalam menyesuaikan perkembangan kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan, Departemen Keuangan mengadakan penyempurnaan di bidang organisasi dan tata kerja. Tujuannya adalah agar dapat lebih berdayaguna dalam pelaksanaan organisasi tata kerja. Penyempurnaan ini berupa penggabungan Kantor Kas Negara (KKN) dengan Kantor Perbendaharaan Negara (KPN) menjadi Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), pembentukan Direktorat PAK, pelimpahan sebagian tugas dan pegawai Ditjen Anggaran kepada PT. TASPEN, dan relokasi pegawai DJA ke Ditjen Pajak.


Dalam rangka menghadapi perdagangan internasional peningkatan kesejahteraan suatu bangsa sangat penting, karena ekonomi menjadi lebih terbuka dan Free trade area semakin menjadi kebutuhan. Fakta yang menunjukkan kondisi seperti ini adalah dengan munculnya GATT, AFTA, NAFTA, maupun WTO serta mulai dicanangkannya kesatuan mata uang Eropa.


Melihat keadaan yang seperti ini, diperlukan tingkat kompetitif yang tinggi pada masing-masing negara baik itu berupa keunggulan kompetitif maupun keunggulan komperatif, jika suatu negara ingin tetap exist dalam perdagangan internasionalnya.


Adanya globalisasi menjadikan negara-negara yang memiliki keunggulan teknologi semakin dominan khususnya dalam bidang ekonomi. Era globalisasi ini akan memaksa setiap bangsa dan negara untuk tidak hanya bertumpu pada industri primer atau industri sekunder, tetapi sekaligus pada industri primer, sekunder dan tersier agar dapat mempertahankan keunggulan komparatif dan mengoptimalkan nilai tambah yang diperoleh.


Adanya integrasi ekonomi regional seperti AFTA, NAFTA, APEC dan sebagainya, cenderung akan memperketat persaingan global dan memperkuat resiprositas dalam perdagangan internasional. Lebih-lebih integrasi regional yang beranggotakan negara-negara maju yang meliputi peraturan serta kebijaksanaan tarif dan non tarif serta insentif ekspor, akan semakin merugikan negara-negara yang tertinggal di bidang tekhnologi. Dalamhal ini diperlukan campur tangan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan dan mengurangi dampak perdagangan yang
merugikan dengan negara-negara yang lebih maju serta mencegah adanya penetrasi yang lebih dalam perusahaan-perusahaan multinasional ke dalam sektor industri nasional.


Dalam kondisi persaingan yang semakin ketat, kehadiran BUMN akan sangat diperlukan sebagai balancing agents dalam menghadapi perusahaan-perusahaan multinasional swasta yang mampu menggunakan kekuatan ekonomis mereka untuk membelokkan kebijaksanaan pemerintah ke arah yang menguntungkan bagi perusahaan yang bersangkutan dan merugikan kepentingan nasional.



BAB VIII
MASA ORDE REFORMASI
Perjalanan sejarah Orde Baru yang panjang, Indonesia dapat melaksanakan pembangunan dan mendapat kepercayaan dari dalam maupun luar negeri. Rakyat Indonesia yang menderita sejak tahun 1960-an dapat meningkat kesejahteraannya. Akan tetapi keberhasilan pembangunan pada waktu itu tidak merata karena terjadi kesenjangan sosial ekonomi yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Bahkan Orde Baru ingin mempertahankan kekuasaannya terus menerus dengan berbagai cara. Hal ini menimbulkan berbagai efek negatif. Berbagai bentuk penyelewengan terhadap nilai- nilai Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 itu disebabkan oleh adanya tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sejak pertengahan tahun 1996 situasi politik di Indonesia memanas. Golongan Karya yang berkeinginan menjadi mayoritas tunggal (Single Majority) mendapat tekanan dari masyarakat. Masyarakat menuntut adanya perubahan di bidang politik, ekonomi, demokratisasi dalam kehidupan sosial serta dihormatinya hak asasi manusia. Hasil Pemilihan Umum 1997 yang dimenangkan Golkar dan menguasai DPR dan MPR banyak mengandung unsur nepotisme. Terpilihnya Jenderal Purnawirawan Soeharto sebagai Presiden RI banyak mendapat reaksi masyarakat. Sedangkan pembentukan Kabinet Pembangunan VII dianggap berbau Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN).


Pada saat memanasnya gelombang aksi politik tersebut Indonesia dilanda krisis ekonomi sejak pertengahan tahun 1997 sebagai pengaruh krisis moneter yang melanda wilayah Asia Tenggara. Harga-harga kebutuhan pokok dan bahan pangan membumbung tinggi dan daya beli rakyat rendah. Para pekerja di perusahaan banyak yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga semakin menambah pengangguran. Hal ini diperparah lagi dengan tindakan para konglomerat yang menyalahgunakan posisinya sebagai pelaku pembangunan ekonomi. Mereka menambah hutang tanpa kontrol dari pemerintah dan masyarakat. Akibatnya perekonomian mengalami krisis, nilai rupiah terhadap dollar merosot tajam hampir Rp.15.000,00 per dollar AS. Perbankan kita menjadi bangkrut dan banyak yang dilikuidasi. Pemerintah banyak mengeluarkan uang dana untuk Kredit Likuidasi Bank Indonesia (KLBI) sehingga beban pemerintah sangat berat. Dengan demikian kondisi ekonomi di Indonesia semakin parah.


Melihat kondisi bangsa Indonesia yang merosot di berbagai bidang tersebut maka para mahasiswa mempelopori demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah Orde Baru dengan menentang berbagai praktek korupsi, kolusi nepotisme (KKN). Kemarahan rakyat terhadap pemerintah memuncak pada bulan Mei 1998 dengan menuntut diadakannya reformasi atau perubahan di segala bidang baik bidang politik, ekonomi maupun hukum.



Gerakan reformasi ini merupakan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan Orde Baru yang telah mengendalikan pemerintahan selama 32 tahun.


Pada awal Maret 1998 Kabinet Pembangunan VIII dilantik, akan tetapi kabinet ini tidak membawa perubahan ke arah kemajuan. Oleh karena itu rakyat menghendaki perubahan ke arah yang lebih baik di berbagai bidang kehidupan baik bidang politik, ekonomi, hukum maupun sosial budaya. Pada awal Mei 1998 mahasiswa mempelopori unjuk rasa menuntut dihapuskannya KKN, penurunan harga-harga kebutuhan pokok, dan Soeharto turun dari jabatan Presiden. Ketika para mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 12 Mei 1998 terjadilah bentrokan dengan aparat kemananan. Dalam peristiwa ini beberapa mahasiswa Trisakti cidera dan bahkan tewas. Di antara mahasiswa Trisakti yang tewas adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, Hendriawan Sie, dan Hafidhin Royan.


Pada tanggal 13-14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massa dengan membakar pusat-pusat pertokoan dan melakukan penjarahan. Pada tanggal 19 Mei 1998 puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR. Mereka menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden akan tetapi Presiden Soeharto hanya hanya mereshufle kabinet. Hal ini tidak menyurutkan tuntutan dari masyarakat.


Pada tanggal 20 Mei 1998 Soeharto memanggil tokoh-tokoh masyarakat untuk memperbaiki keadaan dengan membentuk Kabinet Reformasi yang akan dipimpin oleh Soeharto sendiri. Tokoh-tokoh masyarakat tidak menanggapi usul Soeharto tersebut. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada wakilnya, B.J. Habibie. Selanjutnya B.J. Habibie dilantik sebagai Presiden RI menggantikan Soeharto.


Pada masa pemerintahan B.J. Habibie kehidupan politik mengalami perubahan, kebebasan berserikat telah dibuka terbukti banyak berdiri partai politik. Pada bulan November 1998 dilaksanakan Sidang Istimewa MPR yang menghasilkan beberapa keputusan di antaranya adalah tentang pelilihan umum secepatnya. Selanjutnya Pemilihan Umum setelah berakhirnya Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1998 yang diikuti oleh 48 partai politik. Pada Pemilu kali ini suara terbanyak diraih oleh Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP). Dalam Sidang Umum MPR yang dilaksanakan pada bulan Oktober 1999 terpilihlah K.H. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan Megawati Sukarno Putri sebagai Wakil Presiden.


Masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tidak berlangsung lama dan diwarnai pertentangan dengan lembaga legislatif. Karena keadaan dianggap membahayakan keselamatan negara maka MPR mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 21 Juli 2001. Hasil sidang tersebut memutuskan memberhentikan Presiden Abdurrahman sebagai Presiden dan melantik Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Indonesia.


Masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri hingga pemilihan umum yang direncanakan pada tahun 2004. Kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri didampingi oleh Hamzah Haz yang terpilih sebagai voting (pemungutan suara). Pada masa pemerintahan Presiden Megawati ada kemajuan dari luar maupun dari dalam negeri. Akan tetapi dengan adanya kesulitan ekonomi sejak tahun 1997, pada masa pemerintahan ini belum bisa memulihkan keadaan seperti sebelum krisis ekonomi.


Masa pemerintahan Presiden Megawati berakhir sampai diselenggarakannya Pemilihan Umum tahun 2004. Pada tanggal 5 April 2004 dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tingkat propinsi dan pada tingkat kota atau kabupaten. Adapun hasil pemilu legislatif pada tingkat pusat sebagai berikut.



PARTAI                     % SUARA YANG SAH                                             % KURSI DI DPR PUSAT
GOLKAR                                21,6                                                                           23,3 

PDIP                                       18,5                                                                          19,8                  

PKB                                        10,6                                                                           9,5                                

PPP                                        8,2                                                                            10,5

PARTAI DEMOKRAT          10,4                                                                         10,4
PKS                                        7,3                                                                           8,2
PAN                                      6,4                                                                            9,5
PDS                                       2,1                                                                           2,2 

LAIN-LAIN                         14,9                                                                          6,6



Sumber Ricklefs. 2007:680


Tabel 14.1 Perolehan Suara Pemilu 2004


Pemilihan Umum untuk memilih presiden secara langsung dilaksanakan dua kali putara. Putaran pertama pada tanggal 5 Juli 2004 dan putaran kedua pada tanggal 20 September 2004. Terpilih sebagai presiden adalah Susilo Bambang Yudhoyono dan sebagai wakil presiden Jusuf Kalla. Pemilihan Presiden dan wakil presiden oleh rakyat secara langsung ini merupakan pertama kali dalam sejarah di Indonesia. Sistem ini merupakan salah satu hasil dari gerakan reformasi di Indonesia.





Komentar

Postingan Populer